Budi daya dan jual beli jangkrik,
ulat, cacing, semut dan ular
a. Pengertian
Sesuai dengan sistem anatomi,
serangga adalah hewan Antropoda yang
memiliki 6 kaki dan tubuh yang terdiri dari
tiga bagian , yaitu kepala, torak dan
abdomen. [1]
Untuk mengetahui persamaan,
apakah jangrik masuk dalam hewan jenis
serangga. Apakah jangkrik itu sama
dengan belalang?
Anatomi serangga eriti dari:
a. Satu pasang kaki ompat. [2]
b. Mulut.
c. Kepala.
d. Dua psang kaki kecil.
e. Atena.
f. Dua pasang sayap.
g. Maba.
h. Spirakel.
i. Oviosifor. [3]
Kita ketahui bahwa jangkrik memiliki
semua struktur anatomi diatas yang
merupkan ciri-ciri serangga. Dengan
persamaan diatas bisa ditarik kesimpulan
bahwa hukum pada jangkrik adalah sama
dengan hukum pada belalang.
Menurut kebanyakan orang, ulat dan
Cacing adalah hewan yang menjijikkan
namun memiliki banyak manfaat. Untuk
cacing dalam kaitannya tidak dlihat dari
segi menjijikkannya, tapi dari segi
manfaatnya seperti jamu, make up dan
lain sebagainya.
Semut dalah hewan sejenis seragga
yang berukuran kecil yang secara
anatomi tidak memiliki sayap. Sebagian
ada yang bisa terbang. Dari sruktur
anatomi semut yang hampir sama dengan
jangrik dan belalang. Karena ketiganya
masuk dalam jenis Insekta. [4]
Ular adalah hewan yang memiliki
taring di rahang dan tulang langit-
langitmulut serta sepasang taring pada
maksila. [5]
b. Dasar hukum
1. Al-Qur’an
Qs. Al-Baqoroh:29
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu dan dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha
mengetahui segala sesuatu .”
2. Hadits
Sabda nabi yang artinya : “apa-apa
yang dihalalkan dalam kitab-Nya (Al-
Qur’an) adalah halal. Dan apa-apa yang
diharamkan-Nya, hukumnya haram. Dan
apa-apa yang didiamkan atau tidak
dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk
itu terimalah pemaafan-Nya sebab Allah
tidak pernah lupa tentang sesuatu
apapun.” (HR.Al-Hakim). [6]
c. Pandanga ulama
“jika suatu kaum sudah memakan
(jangkrik, ulat, cacing, semut dan ular) dan
tidak membahayakan terhadap mereka, dan
yang menjadi pedoman adalah diri mereka,
maka menurut pendapat yang masyhur
adalah tidak haram”.
Menurut imam maliki, serangga
itu halal sesuai dengan firman Allah Qs.
Al-An’am:145
Artinya: Katakanlah:
"Tiadalah Aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau
daging babi.....” (Qs. Al-An’am:145 )
Dan pendapat yang paling
benar adalah bahwa jangkrik itu
haram seperti kumbang. Namun
mengacu pada ayat diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa
membudidayakan jangkrik, ulat,
cacing, semut dan ular hukumnya
boleh.
Sedangkan untuk jual beli
jangkrik, ulat, cacing, semut dan
ular itu sendiri terdapat
perbedaan pendapat. Untuk
Madzhab Maliki dan Hanafi
mensahkan hukum jual-belinya.
Sahnya jual beli serangga dan
binatang melata, seperti ular dan
kalajengking jika memang
bermanfaat. Parameternya
menurut mereka adalah semua
yang bermanfaat itu halal
menurut syara’, karena semua
yang ada itu diciptakan untuk
kemanfaatan manusia. [7]
d. Analisis
Sekarang timbul pertanyaan,
bagaimanakah hukum budidaya cacing,
jangkrik, ulat, cacing dan ular tersebut
menurut kacamata Fiqh Islam? Dapatkah hal
tersebut dibenarkan sepanjang kajian Fiqh?
Bukankah kedua jenis satwa tesebut
termasuk ke dalam kategori al-Khabaits atau
al-Hasyarat yang menurut jumhur fuqaha'
hukumnya haram? Tulisan sederhana ini akan
mencoba menjawab persoalan tersebut.
Imam Syafi'i dalam ar-Risalah [8] [9]
menegaskan bahwa tak satu pun
permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh
umat Islam kecuali hal itu ada solusinya
(dapat diketahui status hukumnya) dalam al-
Quran al-Karim (ada yang langsung/
manshush dan ada yang tidak langsung/
ghairu manshush/maskut 'anhu ). Hal yang
sama berlaku pada sunah sejalan dengan
penegasan Rasul: [10] [11]
ﺍَﻻَ ﻭَﺍِﻧِّﻰ ﺍُﻭْﺗِﻴْﺖُ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻭَﻣِﺜْﻠَﻪُ ﻣَﻌَﻪُ
"Ketahuilah, aku diberi kitab suci al-
Qur'an, dan sunah yang kedudukannya sama
dengan al-Qur'an".
Dari penegasan Imam Syafi'i
tersebut muncullah teori dalam kajian Ushul
Fiqh bahwa kasus hukum (kasus yang ingin
diketahui hukumnya) yang dihadapi oleh
umat manusia itu dapat diklasifikasi-kan
menjadi dua. Pertama, kasus yang ingin
diketahui hukumnya itu telah manshush
(ditegaskan hukumnya secara langsung,
tegas, dan jelas) oleh teks al-Qur'an atau
sunah. Kedua, ghairu manshush /maskut
'anhu (belum atau tidak ditegaskan
hukumnya) oleh al-Qur'-an atau sunah.
Untuk kelompok pertama berlaku
prinsip La Majala Lahu lil-Ijitihad (tidak
berlaku dan tidak diperlukan ijtihad);
sementara itu untuk mengetahui status
hukum kelompok kedua berlaku prinsip La-hu
Majal li-Ijtihad (berlaku dan diperlukan
ijtihad) .
masalah budidaya cacing dan
jangkrik termasuk kategori ghairu manshush/
maskut 'anhu yang untuk mengetahui status
hukumnya diperlukan ijtihad. Dengan
demikian mas-alahnya adalah ijtihadi.
pemecahan terhadap masalah ini dapat
ditempuh lewat tiga pendekatan sbb:
a) Lewat pendekatan kaidah yang
dipedomani oleh jumhur fuqaha
ﺍَﻻَﺻْﻞُ ﻓِﻰ ﺍﻟْﻤَﻨَﺎ ﻓِﻊِ ﺍَﻻِﺑَﺎﺣَﺔُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang
bermanfaat adalah mubah/halal"
b) Lewat pendekatan maslahah mursalah/
istishlah
a) Lewat pendekatan maqasid syari'ah
(tujuan hukum Islam) . [12]
1. Pendekatan Kaidah al-Ashlu fi al-
Manafi' al-Ibahah.
Budidaya cacing, jangkrik, ulat,
semut dan ular merupakan kasus baru,
hukum-nya belum/tidak ditegaskan,
bahkan belum disinggung sama sekali
oleh al-Qur'an dan sunah. Dengan
demikian masalah tersebut termasuk
katagori maskut 'anhu. Jumhur fuqaha'
berpendapat bahwa untuk
menyelesaikan masalah yang maskut
'anhu hendaklah berpedoman pada
kaidah:
ﺍَﻻَﺻْﻞُ ﻓِﻰ ﺍﻟْﻤَﻨَﺎ ﻓِﻊِ ﺍَﻻِﺑَﺎﺣَﺔُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang
bermanfaat adalah boleh/halal".
Kaidah ini besumber dari:
1. Al-Baqarah, 29:
ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻯْ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻓِﻯﺎﻻَﺭْﺽِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ
"Allah-lah yang menjadikan
semua yang ada di bumi untuk kamu
sekalian".
2. Al-Jasiyah, 13:
ﻭَﺳَﺨَّﺮَﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕِ ﻭَﻣَﺎ ﻓِﻰ ﺍﻻَﺭْﺽِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ
ﻣِﻨْﻪُ
"Allah menundukkan untukmu
semua yang ada di langit dan di bumi
(sebagai rahmat) dari-Nya"
.
3. Luqman, 20:
ﺍَﻟَﻢْ ﺗَﺮَﻭْﺍ ﺍَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳَﺨَّﺮَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻓِﻯﺎﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕِ ﻭَﻣَﺎ ﻓِﻰ
ﺍﻻَﺭْﺽِ ﻭَﺍَﺳْﺒَﻎَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻇَﺎﻫِﺮَﺓً ﻭَﺑَﺎﻃِﻨَﺔً
"Tidakkah kamu memperhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan
untuk (kepentingan) mu apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi dan
menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya
lahir dan batin".
Wajah istidlal /metode
pengambilan dalil ketiga ayat di atas
ialah, bahwa semua yang ada di muka
bumi dan di langit itu diciptakan oleh
Allah SWT untuk kepentingan umat
manusia.Ini berarti semuanya itu halal
bagi umat manusia, kecuali bila
membahayakan atau ada nashsh yang
menyatakan keharamannya.
4. Hadis riwayat al hakim:
ﻣَﺎﺍَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻰ ﻛِﺘَﺎﺑِﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﻼَﻝٌ ﻭَﻣَﺎﺣَﺮَّﻡَ
ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻭَﻣَﺎﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻋَﻔْﻮٌ ﻓَﺎَﻗْﺒَﻠُﻮْﺍ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺎﻓِﻴَﺘَﻪُ ﻓَﺎِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟِﻴَﻨْﺴَﻰ ﺷَﻴْﺌًﺎ
"Apa-apa yang dihalalkan oleh
Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah
halal, apa-apa yang diharamkan-Nya,
hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah
diamkan/tidak dijelaskan hukumnya,
dimaafkan.Untuk itu terimalah pemaafan-
Nya, sebab Allah tidak pernah lupa
tentang sesutu apa pun" .
5. Hadis riawayt Turmuzi dan Ibnu Majah:
ﺍِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﺮَﺽَ ﻓَﺮَﺍﺋِﺾَ ﻓَﻼَ ﺗُﻀَﻴِّﻌُﻮْﻫَﺎ ﻭَﺣَﺪَّ
ﺣُﺪُﻭْﺩًﺍ ﻓَﻼَ ﺗَﻌْﺘَﺪُﻭْﻫَﺎ ﻭَﺣَﺮَّﻡَ ﺍّﺷْﻴَﺎﺀَ ﻓَﻼَ
ﺗَﻨْﺘَﻬِﻜُﻮﻫَﺎ ﻭَﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻦْ ﺍَﺷْﻴَﺎﺀَ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﺑِﻜُﻢْ ﻣِﻦْ
ﻏَﻴْﺮِ ﻧِﺴْﻴَﺎﻥٍ ﻓَﻼَ ﺗَﺒْﺤَﺜُﻮْﺍ ﻋَﻨْﻬَﺎ
"Sesungguhnya Allah telah
mewajibkn beberapa kewajiban, maka
janganlah kamu sia-siakan, menentukan
beberapa ketentuan, janganlah kamu
langgar, mengharamkan beberapa
keharaman, janganlah kamu rusak.Dan
Allah tidak menjelaskan hukum beberapa
hal karena sayang kepadamu, janganlah
kamu cari-cari hukumnya."
Wajah istidlal kedua hadis di
atas ialah bahwa ada beberapa hal
yang sengaja tidak dijelaskan
hukumnya oleh Allah. Tidak dinyata-kan
halal dan tidak pula dinyatakan haram.
Hal ini bukan karena Allah lupa (sebab
Allah memang tidak pernah lupa), tetapi
karena kasih sayang Allah kepada
hamba-Nya.Ini menunjukkan bahwa
sesuatu yang tidak ditegaskan halal
atau haram itu, hukumnya adalah
halal.Tentu selama hal itu bermanfaat,
tidak membahayakan.
Budidaya cacing dan jangkrik
dalam rangka menciptakan lapa-ngan
kerja baru, mengatasi pengangguran,
dan memecahkan masalah PHK jelas
sangat bermanfaat. Oleh karena
termasuk maskut 'anhu maka sesuai
dengan keumuman ayat dan hadis di
atas, dan sejalan dengan kaidah al-
Ashlu fi al-Manfi' al-Ibahah, menurut
hemat penulis budidaya cacing dan
jangkrik tersebut hukumnya jelas
mubah /halal. [13]
Dari urain di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa status hu-kum
budidaya cacing dan jangkrik dengan
tujuan sebagaimana telah disebutkan di
atas adalah mubah/halal.
Jumat, 15 Januari 2016
Hukum jual beli ulat dan cacing
Sabtu, 02 Januari 2016
Kisah abu yazid al busthomi
Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah seorang
penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah
seorang di antara orang-orang terkemuka
Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa
bermula sejak ia berada di dalam kandungan
ibunya.
“Setiap kali aku menyuap makanan yang
kuragukan kehalalannya,” ibunya sering berkata
kepada Abu Yazid. “engkau yang masih beraa di
dalam rahimku memberontak dan tidak mau
berhenti sebelum makanan itu ku muntahkan
kembali.”
Pernyataan si ibu dibenarkan oleh Abu Yazid
sendiri.
Kepada Abu Yazid pernah ditanyakan, “Apakah
yang terbaik bagi seorang manusia di atas jalan
ini.”
“Kebahagiaan yang merupakan bakat sejak lahir,”
jawab Abu Yazid.
“Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?”
“Sebuah tubuh yang sehat dan kuat.”
“Jika tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat?”
“Pendengaran yang tajam.”
“”Jika tidak memiliki pendengaran yang tajam?”
“Hati yang mengetahui.”
“Jika tidak memiliki hati yang mengetahui?”
“Mata yang melihat.”
“Jika tidak memiliki mata yang melihat?”
“Kematian yang segera.”
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan
Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-
Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan
arti satu ayat dari surah Lukman yang berbunyi :
“Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua
orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati
Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya
dan berkata kepada gurunya : “Izinkan aku
pulang! Ada yang hendak kukatakan kepada
ibuku.”
Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke
rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-
kata :
“Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah
engkau mendapat hadiah atau adakah suatu
kejadian yang istimewa?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai
pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku
berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku
tak dapat mengurus dua buah rumah dalam
waktu bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan
hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga
aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah
aku kepada Allah semata sehingga aku dapat
hidup untuk Dia semata-mata.”
“Anakku”, jawab ibunya. “aku serahkan engkau
kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua
kewajiban terhadapku. Pergilah engkau dan
jadilah sorang hamba Allah.”
Di kemudian hari Abu Yazid berkata :
“Kewajiban yang kukira sebagai kewajiban yang
paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata
merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu
kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam
berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala
sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang
hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri
dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya
adalah sebagai berikut : Pada suatu malam, ibu
meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi
mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami
tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu
pun kosong. Oleh karena itu pergilah aku ke
sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air.
Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur.”
“Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap
dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia
meminum air yang kubawa itu kemudian
memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku
betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku.
“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?”,
ibu bertanya, “Aku takut ibu terjaga sedang aku
sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata
kepadaku : “Biarkan saja pintu itu setengah
terbuka.”
“Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu
itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan
agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga
akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang
sering kulakukan berkali-kali.”
Setelah si ibu memasrahkan anaknya kepada
Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham,
merantau dari satu negeri ke negeri lain selama
tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri
dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan
bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah
bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan
telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran
yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu
ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu
Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba
Shadiq berkata kepadanya.
“Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.”
“Jendela? Jendela mana?” tanya Abu Yazid.
“Telah sekian lama engkau belajar di sini dan
tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku
dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku
tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang
ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di
sini.”
“Jika demikian,” kata si guru, “kembalilah ke
Bustham. Pelajaranmu telah selesai.”
oooOOOooo
Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat
tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu
Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah
dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang
termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah,
karena itu segera ia memutar langkahnya.
“Jika ia memang telah memperoleh semua
kemajuan itu dari jalan Allah,” Abu Yazid berkata
mengenai guru tadi. “Niscaya ia tidak akan
melanggar hukum seperti yang telah
dilakukannya.”
Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya
berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid,
ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan
menghormati masjid tersebut.
oooOOOooo
Perjalanan Abu Yazid menuju Ka’bah memakan
waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena
setiap kali ia bersua dengan seorang
pengkhotbah yang memberikan pengajaran di
dalam perjalanan itu. Abu Yazid segera
membentangkan sajadahnya dan melakukan
shalat sunnat dua raka’at. Mengenai hal ini Abu
Yazid mengatakan “Ka’bah, bukanlah seperti
serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang
dapat dikunjungi orang setiap saat.”
Akhirnya sampailah ia ke Ka’bah tetapi ia tak
pergi ke Madinah pada tahun itu juga.
“Tidaklah pantas perkunjungan ke Madinah hanya
sebab pelengkap saja,” Abu Yazid menjelaskan.
“Saya akan mengenakan pakaian haji yang
berbeda untuk mengunjungi Madinah.”
Tahun berikutnya, sekali lagi ia menunaikan
ibadah haji. Ia mengenakan pakain yang berbeda
untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai
menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam
perjalanan tersebut, suatu rombongan besar
telah menjadi muridnya dan ketika ia
meninggalkan tanah suci, banyak orang yang
mengikutinya.
“Siapakah orang-orang ini?” ia bertanya sambil
melihat ke belakang.
“Mereka ingin berjalan bersamamu,” terdengar
sebuah jawaban.
“Ya Allah!.” Abu Yazid bermohon, “Janganlah
Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu
karenaku.”
Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada
dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang
bagi mereka, maka setelah selesai melakukan
shalat Shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka
: “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan
selain Aku dan karena itu sembahlah Aku.”
: Abu Yazid sudah gila!.” Seru mereka kemudian
meninggalkannya.
Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah
perjalanan ia menemukan sebuah tengkorak
manusia yang bertuliskan : Tuli, bisu, buta.......
mereka tidak memahami.
Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak
itu lalu menciuminya. “Tampaknya ini adalah
kepala seorang sufi.” gumamnya. “yang menjadi
lebur di dalam Allah.... ia tidak lagi mempunyai
telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi
mempunyai mata untuk memandang keindahan
abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji
kebesaran Allah, dan tidak lagi mempunyai akal
walaupun untuk merenungi secuil pengetahuan
Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai
dirinya.”
Suatu hari Abu Yazid melakukan perjalanan. Ia
membawa seekor unta sebagai tungggangan dan
pemikul perbekalannya.
“Binatang yang malang, betapa berat beban yang
engkau tanggung. Sungguh kejam!.” Seseorang
berseru.
Setelah mendengar suara ini berulang kali,
akhirnya Abu Yazid menjawab.
“Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini
yang memikul beban.”
Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu
benar-benar berada di atas punggung unta
tersebut, barulah ia percaya setelah melihat
beban itu mengambang satu jengkal di atas
punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak
memikul beban tersebut.
“Maha Besar Allah, benar-benar menkajubkan!”,
seru si pemuda.
“Jika ku sembunyikan kenyataan-kenyataan yang
sebenarnya mengenai diriku, engkau akan
melontarkan celaan kepadaku,” kata Abu Yazid
kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan-
kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat
memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku
kepadamu?!”
oooOOOooo
Setelah Abu Yazid mengunjungi kota Madinah,
datang sebuah perintah yang menyuruhnya
pulang untuk merawat ibunya. Ditemani
serombongan oarang, ia pun berangkat menuju
Bustham. Berita kedatangan Abu Yazid tersebar
di kota Bustham dan para penduduk kota datang
untuk menyongsongnya. Pasti Abu Yazid akan
sibuk melayani mereka dan membuat ia akan
terhalang untuk menyegerakan perintah Allah itu.
Oleh karena itu ketika penduduk kota telah
hampu sampai, dari lengan bajunya ia
mengeluarkan sepotong roti, sedang saat itu
adalah Bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang
Abu Yazid memakan roti tersebut. Begitu
penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu
Yazid, mereka lalu berpaling darinya.
“Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu Yazid
kepada sahabat-sahabatnya. “betapa aku
mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi
semua orang berpaling dariku.”
Dengan sabar Abu Yazid menunggu samapai
malam tiba. Tengah malam barulah ia memasuki
kota Bustham. Ketika sampai di depan rumah
ibunya, untuk beberapa lama ia berdiri
mendengarkan ibunya yang sedang bersuci lalu
shalat.
“Ya Allah, periharalah dia yang terbuang.”
Terdengar doa ibunya,”cenderungkanlah hati para
syeikh kepada dirinya dan berikanlah petunjuk
kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik.”
Mendengar doa ibunya itu Abu Yazid menangis.
Kemudian ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?” tanya ibunya dari dalam.
“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid.
Dengan menangis si ibu membukakan pintu.
Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur.
“Thaifur,” si ibu berkata kepada puteranya.
“Tahukah engkau mengapa mataku menjadi
kabur seperti ini?” Karena aku telah sedemikian
banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah
denganmu. Dan punggungku telah bongkok
karena beban duka yang kutanggungkan itu.”
( Kitab Tadzkirotul Auliya )