Kamis, 22 Oktober 2015

"AL-WALIYULLAH AL-HABIB MUHAMMAD BIN HUSSEIN BIN ZAINAL 'ABIDIN BIN AHMAD AL- AYDRUS ( HABIB NEON )"


- Ulama yang Berjuluk Habib Neon
Beliau salah seorang ulama yang menjadi
penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan
dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang
mengikuti jejak ulama salaf
- Karomah Al-Habib dan sebab musabab di beri
julukan "Habib Neon"
Suatu malam, beberapa tahun lalu, ketika ribuan
jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid
di Surabaya, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja
kontan mereka risau, heboh. Mereka satu persatu
keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama.
Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang
berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis
dan sorban putih, berselempang kain rida warna
hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein
bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika
lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib,
mendadak masjid terang benderang seolah ada
lampu neon yang menyala. Padahal, Habib
Muhammad tidak membawa obor atau lampu.
Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi?
Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang
benderang itu keluar dari tubuh sang habib.
Bukan main! Maka, sejak itu sang habib
mendapat julukan Habib Neon …
- Biografi / Manaqib Beliau
Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut,
pada 1888 M. Meski dia adalah seorang
waliyullah, karamahnya tidak begitu nampak di
kalangan orang awam. Hanya para ulama atau
wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui
karamah Habib Neon. Sejak kecil ia mendapat
pendidikan agama dari ayahandanya, Habib
Husein bin Zainal Abidin Alaydrus.
Menjelang dewasa ia merantau ke Singapura
selama beberapa bulan kemudian hijrah ke ke
Palembang, Sumatra Selatan, berguru kepada
pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian
menikah dengan sepupunya, Aisyah binti
Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia
dikaruniai Allah tiga anak lelaki dan seorang anak
perempuan.
Tak lama kemudian ia hijrah bersama
keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah,
mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-
Atthas. Beberapa waktu kemudian ia hijrah lagi,
kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal
sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan
awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad al-
Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,
Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.
Selama mukim di Surabaya, Habib Muhammad
suka berziarah, antara lain ke makam para wali
dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban,
Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, ia konon pernah
bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali
kharismatik, (Alm) Habib Abu Bakar bin
Muhammad Assegaf, Gresik.
Open House
Seperti halnya para wali yang lain, Habib
Muhammad juga kuat dalam beribadah. Setiap
waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan
bershalawat. Dan yang paling mengagumkan, ia
tak pernah menolak untuk menghadiri undangan
dari kaum fakir miskin. Segala hal yang ia
bicarakan dan pikirkan selalu mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan kebenaran agama, dan
tak pernah berbicara mengenai masalah yang tak
berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang
dihadapi oleh orang lain. Itu sebabnya, setiap jam
10 pagi hingga waktu Dhuhur, ia selalu menggelar
open house untuk menmui dan menjamu para
tamu dari segala penjuru, bahkan dari
mancanegara. Beberapa tamunya mengaku,
berbincang-bincang dengan dia sangat
menyenangkan dan nyaman karena wajahnya
senantiasa ceria dan jernih.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya ia
perguankan untuk menelaah kitab-kitab mengenai
amal ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan setiap
Jumat ia mengelar pembacaan Burdah bersama
jamaahnya.
Ia memang sering diminta nasihat oleh warga di
sekitar rumahnya, terutama dalam masalah
kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan
problem-problem masyarakat lainnya. Itu semua
dia terima dengan senang hati dan tangan
terbuka. Dan konon, ia sudah tahu apa yang akan
dikemukakan, sehingga si tamu manggut-
manggut, antara heran dan puas. Apalagi jika
kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula
yang saya ketahui secara langsung. Beliau
adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin
Abdullah Alaydrus, kemenakan dan menantunya,
yang juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi
Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta
Selatan.
Di antara laku mujahadah (tirakat) yang
dilakukannya ialah berpuasa selama tujuh tahun,
dan hanya berbuka dan bersantap sahur dengan
tujuh butir korma. Bahkan pernah selama setahun
ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur
dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk jatah
buka puasa dan sahur selama setahun itu ia
hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud
saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam
Gahazali. Satu mud ialah 675 gram. ”Aku gemar
menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga
menguji nafsuku dengan meniru ibadah kaum
salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf
tersebut,” katanya.
Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389
H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun, dan
jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman
Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam
paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus,
sesuai dengan wasiatnya. Setelah ia wafat,
aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya
yang ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad
Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di
Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon
diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir
bulan Jumadil Awal.
—————————————— 212;———————————
——— ;—-
Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal Abidin
Al-Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus lahir di
kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau
tidak begitu tampak di kalangan orang awam.
Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan
karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi,
karena memang beliau sendiri lebih sering
bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.
Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh
secara langsung oleh ayah beliau sendiri
al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-
Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang
oleh ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan
keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau
ke Singapura.
ﺃَََﻟَﻢْ َﺗﻜُﻦْ ﺃَﺭْﺽُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﺳِﻌَﺔً ﻓﺘَََﻬَﺎﺟَﺮُﻭْ ;575 ﻓِﻴْﻬَﺎ
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97)
Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke
Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau
menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari
Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke
Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang
menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk
pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib
Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di
Pekalongan jugalah beliau seringkali
mendampingi Habib Ahmad bin Tholib al-Atthos.
Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat
Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah
pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri
pernah mengatakan:
ﻭَﺣُﺐِّ ﺍﻟﺒِﻠَﺎﺩَ ﻓَﺄَﻳُّﻬَﺎ ﺃَﺭْﺿَﺎﻙَ ﻓَﺎﺧْﺘَﺮْﻩُ ﻭَﻃَﻦْ
Cintailah negeri-negeri mana saja yang
menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu)
tempat tinggalmu
Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal
bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu
terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut
sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di
antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad
al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,
Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih
banyak lagi para habaib yang mengharumkan
nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap
di Surabaya pun Habib Muhammad al-Aydrus
masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban
dan Kudus selama 1-2 bulan.
Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal
Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah
para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan
terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-
rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-
kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka
mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka
adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang
telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga
patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau
sebagai figur teladan.
Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga
al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa
karangan yang kandungan isinya mampu
memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/
manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang)
maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan
dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para
ashlafuna ash-sholihin).
Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang
yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap
orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa
nyaman dan senang karena memandang wajah
beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya).
Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu
berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau
Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi
undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan
yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai
kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya.
Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau
khianati, apalagi dianiaya.
Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur beliau
selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu
para tamu yang datang dari segala penjuru kota,
bahkan ada sebagian dari mancanegara.
Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’
beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab
yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap
malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan
Burdah bersama para jamaahnya.
Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus adalah
pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang
haliyah-nya agung dan sangat mulia. Beliau juga
memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan
kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal
ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad telah
menyifati mereka dalam untaian syairnya:
ﺛﺒﺘﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻗـﺪﻡ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﻭﺍﻟﺼﺤﺐ # ﻭﺍﻟﺘـﺎﺑﻌﻴﻦ ﻟﻬﻢ ﻓﺴﻞ
ﻭﺗﺘﺒﻊ
ﻭﻣﻀﻮ ﻋﻠﻰ ﻗﺼﺪ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻌﻠﻰ # ﻗﺪﻣﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﻡ
ﺑﺠﺪ ﺃﻭﺯﻉ
_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-
sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan
ikutilah jejaknya_
_Mereka menelusuri jalan menuju kemulyaan dan
ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan
kegigihan dan kesungguhan_
Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun
berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya
dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama
1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau
pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar
menelaah kitab-kitab tasawuf.
Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan
meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang
tersurat dalam kitab-kitab itu.
Semoga Barokah untuk kita dengan membaca
Manaqibnya para Auliya Allah SWT.
Aamiin Allahumma aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar