Mbah Kholil Bangkalan.
Melindungi calon santrinya dari musibah
------------------------------------------------
Pada kisah yang lain, Kiai Kholil ber usaha
melindungi calon santrinya dari musibah, padahal
dia berada di Bang kalan, sementara si calon
santri di te ngah Alas Roban, Batang,
Pekalongan.
Menurut cerita si calon santri yang ber nama
Muhammad Amin, ia berang kat dari Kempek,
Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju
Bangkalan, Ma dura, untuk berguru kepada Kiai
Kho lil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa
kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana
untuk tidur, parang, ser ta thithikan, alat
pemantik api yang ter buat dari batu.
Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos
hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai
di tepi Hutan Roban di luar kota Batang,
Pekalongan.
Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada
yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang
ada di hutan itu be sar-besar, semak belukar
sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya.
Na mun yang lebih menyeramkan, banyak
perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu.
Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-
segan membantai mangsa nya kalau melawan.
Menjelang malam, tatkala enam orang calon
santri itu sedang mencari tem pat untuk tidur,
tiba-tiba muncul se sosok laki-laki. Namun
karena tampang nya biasa-biasa saja, mereka
tidak me naruh curiga. Bahkan orang itu kemudi
an bertanya apa mereka punya thithikan, karena
ia akan menyulut rokok.
Namun setelah benda itu dipegang nya, ia
mengatakan bahwa batu itu ter lalu halus
sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih
perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil
memasuk kan batu tersebut ke mulutnya lalu
meng gigitnya se hingga pecah menjadi dua.
Terbelalak mata enam orang calon santri itu
menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka
gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang
kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani
di antara me reka, menjawab, “Kalau barang-ba
rang kami diambil, kami tidak bisa me lanjutkan
perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata
“Bangkalan”, orang itu tampak waswas.
“Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya.
“Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab
Amin.
Tersentak laki-laki itu, seperti pem buru tergigit
ular berbisa. Wajahnya pu cat pasi, bibirnya
menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai
Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu ber
samaan. Mereka gembira karena me rasa tidak
akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau
begitu, serahkan semua ba rangmu kepadaku,”
kata lelaki itu. “Kali an tidur saja di sini, dan aku
akan men jaga kalian semalaman.”
Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka
kemudian memang membaring kan badan tapi
mata tidak bisa diajak tidur sema laman. Maut
seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya,
selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak
mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke
mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar
kalian ke luar dari hu tan ini agar tidak diganggu
oleh peram pok lain,” jawabnya tampak ramah.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya
orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu
terjawab, orang itu ber kata. “Sebenarnya kalian
akan aku ram pok, dan menjual kalian kepada
onder neming untuk dijadikan kuli kontrak di luar
Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik
mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu
para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya
pernah dikalah kan Kiai Kholil dengan ilmu
putihnya.”
Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap
untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di
perjalanan saja un tuk menuju pesantren Kiai
Kholil mereka telah memperoleh karamah dari
pemim pin pesantren tersebut.
Wallohu a'lam.
Senin, 26 Oktober 2015
Karomah mbah khalil bangkalan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar