Senin, 26 Oktober 2015

Kh as'ad syamsul arifin situbondo

Kyai NU yang Jadi Pimpinannya Para Wali (Wali
Quthub), KHR. As'ad Syamsul Arifin Situbondo
___________________________
Tidak ada yang menyangka, ternyata Mursyid 13
thariqah dan ulama besar NU ini adalah seorang
Wali Quthub (pimpinannya para wali). Berikut
adalah kesaksian dari Kyai Mujib, putera KH.
Ridwan Abdullah pencipta lambang NU.
Kyai As'ad laksana samudera tak bertepi. Beliau
semakin didekati kian bertambah tidak kelihatan.
Saya sangat berpengalaman. Bahkan saya
pernah mencium seluruh tubuhnya, kecuali yang
memang tidak boleh.
Setelah saya pijat selama hampir 3 jam, beliau
tertidur sangat pulas. Saya ciumi sekujur
tubuhnya, dari ujung kepala sampai telapak kaki.
Saya tidak mendapatkan bau apa-apa. Sampai
hati saya berkata, "beliau ini ada atau tidak ada?
Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di
maqam fana?"
Hampir 20 tahun saya hidup bersama beliau.
Tambah dekat dan tambah lama, semakin tidak
kelihatan, sulit ditebak. Saya baru diberi tahu dan
mengerti, baru yakin siapa beliau ini, setelah
saya sampai di Madinah tahun 1987 saat ditunjuk
sebagai petugas haji oleh pemerintah. Sebelum
berangkat haji, saya pun minta izin ke beliau.
"Pak Mujib, pergi haji Sampean ini sunnah tapi
sampai (datang) ke Haramain tahun ini wajib
(fardhu kifayah). Kalau Sampean tahun ini tidak
datang ke tanah Haram, dosa Sampean besar,"
kata Kyai As'ad.
"Kenapa?" tanyaku.
"Jawabnya nanti di sana, bukan di sini," kata Kyai
As'ad. "Namun Sampean jangan berkecil hati.
Sampean saya pinjami ijazah. Setelah pulang,
ijazah tersebut harus dikembalikan. Tidak boleh
dipakai terus."
"Kalau saya sudah hafal bagaimana, Kyai?"
tanyaku.
"Ya terserah, kalau Sampean jadi bajingan."
Sampai larut malam, saya tidak diperbolehkan
pulang. Saya disuruh pulang besok pagi. Tapi
ijazah itu, tidak 'dipinjamkan' sampai saya
tertidur. Ternyata, dalam tidurku itu saya ditalqin
ijazah. Lalu saya ditanya apakah masih punya
wudhu. Saya jawab, masih punya. Baru kemudian
saya ditalqin.
Menjelang Shubuh saya pun terbangun. Ternyata
di bawah bantal ada secarik kertas yang ditulis
oleh Kyai As'ad. Bunyinya persis seperti ijazah
dalam tidur tadi. Mungkin beliau takut saya lupa.
Setelah saya pulang dari haji, beliau sudah ada di
rumah saya ingin mengambil ijazah itu. "Saya
tidak minta oleh-olehnya, Pak Mujib. Hanya saja
ijazah itu harus dilembalikan," kata Kyai As'ad.
Mungkin, ijazah itu takut disalahgunakan.
Alhamdulillah saya berhasil menunaikan ibadah
haji. Ada beberapa peristiwa yang saya alami,
yang hanya bisa saya ceritakan kepada Kyai
As'ad. Semuanya saya ceritakan. Lalu saya
bertanya: "Ada satu Kyai, yang menyangkut
Panjenengan."
"Lho, sampean ke sana mau ngurus saya juga
ya?" Tanya Kyai As'ad dengan nada marah.
Saya pun dimarahi oleh beliau. "Sampean ke
sana dengan saya pinjami ijazah segala, jadi
ngobyek saya juga ya? Kurang ajar Sampean ini!"
katanya agak marah.
"Ya tidak begitu, Kyai. Masa saya sudah ikut
Panjenengan hampir 20 tahun, kok tidak tahu
siapa sebenarnya Panjenengan?" jawabku.
"Lha iya, Sampean ngobyek, ingin tahu saya. Apa
hasilnya?"
"Saya disuruh membacakan ayat di hadapan
Panjenengan!"
"Ayat apa?" Tanya Kyai As'ad.
"Ayat al-Quran. Dengan syarat, kalau
Panjenengan mau. Kalau tidak mau ya tidak
usah!" jawabku.
"Mana ada kyai yang tidak mau dibacakan al-
Quran? Gila Sampean ini!" kata Kyai As'ad.
"Lha wong 'Bos' di sana bilang begitu, Kyai," kata
saya melucu.
Ceritanya, sewaktu di tanah Haramain saya
bertemu 'Bos'. Kata Bos: "Kalau Kyai As'ad tidak
mengaku siapa sebenarnya beliau, bacakan ayat
ini. Dengan catatan beliau harus mau."
"Kalau tidak mau, ya saya tidak akan pernah tahu
siapa Kyai As'ad," jawabku. Karena itu saya pun
mendesak 'Bos' itu.
Lalu 'Bos' berkata: "Ya... tidak maunya itu
ngakunya!"
Saya lalu membacakan ayat yang dimaksud di
hadapan Kyai As'ad:
ﻓَﻜَﻴْﻒَ ﺇِﺫَﺍ ﺟِﺌْﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺃُﻣَّﺔٍ ﺑِﺸَﻬِﻴﺪٍ ﻭَﺟِﺌْﻨَﺎ ﺑِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﺆُﻟَﺎﺀِ
ﺷَﻬِﻴﺪًﺍ
"Maka bagaimana jika Kami mendatangkan saksi
dari setiap umat dan Kami mendatangkanmu
sebagai saksi atas mereka?" (QS. an-Nisa ayat
41).
Belum selesai saya membaca ayat tersebut,
beliau menangis sejadi-jadinya, menjerit sampai
bercucuran air mata. Inilah pengakuan yang tidak
bisa dihindari. Saya tembak di tempat dengan
resep 'Bos' tadi. Ya, jangan tanya siapa 'Bos'
tersebut.
Saya tunggu. Beliau nangis hampir satu jam, itu
pun masih terisak-isak seperti anak kecil. Lalu
saya diajak salaman. Ketika saya mau mencium
tangan beliau, tidak diperbolehkan. "Kali ini
Sampean tidak saya izinkan mencium tangan
saya," kata Kyai As'ad masih dalam keadaan
terisak.
Saya pucat. "Wah, haji saya kali ini mardud
(tertolak)," begitu dalam benak saya. Mengapa?
Sebab saya telah membuka rahasia besar, yang
di dunia ini orangnya hanya satu. Wali Quthub ini,
di dunia hanya satu. Itu rahasianya saya buka,
walaupun saya disuruh 'Bos'.
"Pak Mujib, apa Sampean tidak keberatan belas
kasihan sama saya. Saya minta belas kasihan
Sampean. Saya minta belas kasihan Sampean
agar jangan sampai ngomong kepada orang lain
selama saya masih hidup, siapa diri saya ini!"
Pinta Kyai As'ad kepadaku. (Disadur dari buku
berjudul "Kharisma Kyai As'ad di Mata Umat").

Tidak ada komentar:

Posting Komentar