Saudagar kaya yang lagi sakit itu
menangis tersedu-sedu sesaat
setelah tetangganya yang miskin
menengoknya di rumah sakit dan
memberinya amplop. Amplop kecil
itu berisi uang Rp 20.000. H.
Mahmud, demikian ia biasa
dipanggil, membuka amplop itu
dengan penuh rasa haru.
“Bagaimana bisa orang semiskin
Pak Manto itu menyumbang aku.
Aku tahu Rp 20.000 adalah sebesar
penghasilannya per hari,” kata H.
Mahmud pada dirinya sendiri. “Dia
memang orang baik dan selalu
tulus dalam kebaikannya kepada
siapa pun. Aku bahkan tahu
seandainya uang itu aku tolak,
pasti Pak Manto tidak
tersinggung.”
Kebaikan dan ketulusan hati Pak
Manto membuat H. Mahmud tidak
keberatan menerima
sumbangannya. Ia tidak merasa
tersinggung dengan sumbangan
sekecil itu.
“Uang ini akan aku simpan baik-
baik. Pasti di dalamnya banyak
barokah karena Pak Manto
mendapatkan uang ini tentu
dengan cucuran keringat dan susah
payah. Akan aku gunakan pada
saat yang tepat.”
Tiga hari kemudian, H. Mahmud
diperbolehkan pulang. Hal
pertama yang dia rencanakan
setelah kondisinya pulih adalah
mengunjungi Pak Manto di
rumahnya yang sederhana.
“Assalamu’alaikum!” Demikian H.
Mahmud beruluk salam ketika
memasuki rumah Pak Manto. Pak
Manto terkaget karena tak pernah
membayangkan akan dikunjungi H.
Mahmud.
“Pak Manto, saya sangat berterima
kasih atas kunjungan Pak Manto
kepada saya di rumah sakit
seminggu yang lalu. Alhamdulillah
berkat doa Pak Manto, saya bisa
segera sembuh. Saya
bersilaturrahim ke sini juga dalam
rangka mensyukuri kesehatan saya
yang sudah pulih kembali. Tapi
maaf saya tak bisa lama-lama di
sini.”
H. Mahmud segera berpamitan
pada Pak Manto sambil
memberikan amplop berisi Rp
2.000.000. Bagi H. Mahmud, uang
sejumlah itu sebanding nilainya
dengan Rp 20.000 dari Pak manto
karena sama-sama sebesar
penghasilan per hari mereka
masing-masing. Beberapa saat
kemudian, dibukanya amplop itu
oleh Pak Manto dan meledaklah
tangisnya.
“Tuhan, mengapa secepat dan
sebesar ini Engkau membalas
sedekahku. Bagaimana aku merasa
bangga sedang aku lebih
mengharapkan balasan di akhirat,
yakni berjumpa dengan-Mu. Tuhan,
aku tak pernah berniat bisnis
dengan-Mu dalam setiap
sedekahku. Berhentilah membalas
sedekahku di dunia ini. Ataukah,
Engkau memang tidak
mencintaiku?!” Pak Manto
menangis tersedu-sedu. Air
matanya bercucuran. Hatinya pilu.
Siang itu, Pak Manto bergegas
menuju rumah sakit yang tak jauh
dari rumahnya. Ia tahu pasti
banyak pasien miskin yang tak bisa
segera tinggalkan rumah sakit
karena belum bisa menyelesaikan
tagihannya. Diberikanlah uang dari
H. Mahmud itu kepada seorang
laki-laki muda yang tampak
murung dan bingung karena
uangnya belum cukup untuk
menebus biaya istrinya yang
melahirkan dengan operasi caesar.
"Terimalah uang ini. Ini sedekah
dari seorang saudagar kaya di kota
ini. Mas tidak usah bertanya siapa
nama saudagar itu karena beliau
belum tentu senang diketahui
identitasnya," kata Pak Manto lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar