Jumat, 26 Januari 2018

JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF

JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF

(Abas Gozali)

1. Tujuan Hidup dan Tugas Manusia serta Permusuhan Syaithan

Tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta sebagaimana difirmankan Allah dalam Al- Qur’an Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang berbunyi “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” dan Surat Al-Baqarah ayat 21 yang mengatakan “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa”. Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang baik) dengan semata mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala yang diperintahkan olehNya dan meninggalkan segala yang dilarang olehNya.

Selain itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Tugas kekhalifahan ini terpatri dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…” Kepemimpinan itu dimulai dengan memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan kemudian berkembang ke memimpin lingkungan yang lebih luas.

Kepercayaan Allah terhadap manusia ini diprotes oleh baik malaikat maupun iblis, dengan alasan yang berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia suka saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes karena merasa dirinya yang dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang dibuat dari tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti perintah Allah dan mengakui kekhalifahan manusia, tetapi iblis tetap membangkang. Hal ini terlihat dari dialog antara Allah dengan malaikat dan iblis yang terdapat dalam Al-Qur’an.

“…… Mereka (malaikat) berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 30).

“Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu semua kepada Adam’, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: ‘Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?'”.(Q.S. Al- Israa’: 61).

Sedangkan syaithanpun tetap bersikukuh untuk ingkar terhadap perintah Allah ini meskipun diancam dengan Neraka Jahannam. Akan tetapi syaithan minta ‘privilege’ kepada Allah SWT untuk dapat hidup terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia mengikuti jalan sesatnya. Allah mengijinkan permintaan ini. Peristiwa ini diceritakan dalam Al-Qur’an Surat Al- Israa’ ayat:62-65:

“Dia (iblis) berkata: ‘Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar- benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil’.”

“Tuhan berfirman: ‘pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup.”

“Dan hasunglah (bawalah) siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh Syaithan kepada mereka melainkan tipuan belaka.”

“Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga”.

Maka syaithanpun bersumpah akan menyesatkan manusia dengan cara apapun dan dari jalan manapun. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran Surat An-Nisaa’ayat 118-119 yang berbunyi: “… dan syaithan itu mengatakan: ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan saya akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan- angan kosong mereka, …” dan Surat Al-A’raaf ayat 16-17 yang berbunyi: “Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).”

2. Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb)

Hati merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan akal, yang menggerakkan seluruh anggota badan. Hati pulalah yang menghubungkan manusia dengan Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Az-Zumar 17-18: “Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan tetapi melihat kepada bathinmu.”Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa dalam badan anak Adam itu ada segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, baiklah seluruh badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak, rusaklah seluruh badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah hati.”

Peranan hati itu demikian penting karena didalamnya Allah Ta’ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah (Kelembutan), Ar- Rabbaniyah (Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian). Dengan Nur itulah manusia dapat memperoleh ma’rifat. Apabila manusia menyelam ke dalam dirinya dan terus menerus kembali kepada hatinya, terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut “Ilmu Laduniah”. Al-Bazari berkata: “Dalam hati itu terdapat sifat ‘Al- Latifah’, ‘Ar-Rabbaniyah’, dan ‘Ar-Rohaniyah’ yang bersangkutan dengan tubuh manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif, tempat Nur yang ditaruh Tuhan padanya.” Sedangkan Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: “Hati itu tempat ilmu hakikat karena ‘latifatur Rabbaniyyah’ yang mengatur bagi sekalian anggota badan. Hati itu alat penembus hakikat…”

Sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, hati. Syaitan menutupi hati manusia agar hati tersebut tidak dapat menerima Nur Illahi. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu’min itu melihat kepada langit malakut dan buminya.” Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan ‘nafsul-ammarah bissu’ (nafsu yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya’ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan.

Hati manusiapun menjadi buta. Abdul Qadir Al-Jaelani mengatakan bahwa penyebab yang membutakan hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak sefaham tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil apabila jiwanya sudah dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh syaithan lewat hawa nafsu manusia, seperti: syirik, zinna, takabur, irihati, dengki, kikir, melihat diri lebih utama, suka membuka rahasia orang lain, suka membawa berita adu domba, bohong, dusta, dan semacamnya yang dapat menjatuhkan manusia ke dalam lembah kehancuran dan kehinaan.

Butanya hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia. Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Haj ayat 46 berbunyi: “… Karena sesungguhnya yang disebut buta itu bukanlah buta matanya, melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada.” Sifat jiwa yang zalim yang menyebabkan butanya hati tersebut adalah suatu penyakit yang apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau beranak-pinak. Hal ini ditandaskan oleh Allah SWT dalam FirmanNya di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 9: “Dalam hati orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, karena mereka berdusta” dan Surat At-Taubah ayat 125: “Dan adapun bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di atas kotorannya serta mereka meninggal dunia dalam keadaan kafir.”

Demikian berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaithan lewat hawa nafsu manusia ini sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad akbar melawan hawa nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari sabda-sabda beliau seperti: “Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa nafsunya” (Bukhari dan Muslim), “Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang terletak diantara lambungmu”, dan “Kami kembali dari jihad kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu” (yang diucapkan sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh yang dzahir ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa nafsu tidak ada habis-habisnya dan tidak berkesudahan hingga akhir hayat atau hari qiamat.

3. Dzikir Membersihkan Hati

Membersihkan hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang keji itu fardlu ‘ain hukumnya. Akan tetapi, membersihkan hati itu sangat sukar karena penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang benderang dengan izin Tuhannya.

Cara kaum Sufi membuang penyakit hati tersebut adalah dengan riyadhah dan latihan-latihan yang antara lain meliputi bertaubat, membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, dan menahan diri dari ajakan syahwat. Riyadhah dan latihan khusus kaum Sufi untuk membersihkan hati adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan menyebut nama Allah. Hal ini dilandaskan pada Firman-firman Allah SWT dalam Al-Qur’an seperti: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)- Ku.” (Al-Baqarah 152), “Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”, “Adapun orang laki-laki yang banyak berdzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disedikan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar” (Al-Ahzab 35), dan “(yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang” (Ar-Ra’d 28). Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Bahwasanya hati itu itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah”, “Bagi setiap sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah “DZIKRULLAH”, dan “Jauhkanlah Syaithanmu itu dengan ucapan ‘LAA ILAAHA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH’, karena syaithan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan diatasnya”, “Dzikir kepada Allah SWT, jadi benteng dari godaan syaithan”, dan “Allah berfirman ‘LAA ILAAHA ILLALLAH adalah bentengKu. Barang siapa mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu. Dan barang siapa masuk ke dalam bentengku, maka amanlah ia daripada azabKu. (Hadist Qudsi).”

Pengertian umum dzikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah (baik yang fardlu maupun sunnat) seperti sholat, zakat, puasa, haji, baca Qur’an, da’wah, belajar, berusaha, dll yang dilakukan semata atas nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah dzikir. Akan tetapi disamping melaksanakan hal-hal tersebut, kaum Sufi melaksanakan Thariqat-dzikir secara khusus yang merupakan cara pembersihan ruh pada sisi Allah (hati) secara Sufi, yaitu dengan menyebut LAILAA HA ILLALLAH atau ALLAH baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dengan “cara tertentu.”

Penulis tidak dapat menyampaikan metode Dzikrullah tersebut oleh karena hanya Guru Sufi yang mursyid dan murid-muridnya yang telah diberi “ijazah”lah yang berwenang mengajarkan metode Tha- riqat-dzikir tersebut. Yang dapat penulis sampaikan adalah bahwa para guru Sufi mengajar murid-muridnya mula-mula berdzikir dengan lidah (dzikir zahar, dzikir dengan suara keras), kemudian meningkat secara teratur kedzikir hati (dzikir khofi, dzikir yang tidak bersuara karena didalam hati) yang awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan, lantas meningkat lagi ke dzikir Sirri (dzikir di dalam hatinya hati). Hamba Allah yang sudah mampu berdzikir sirri ini tidak akan pernah terputus dzikirnya meskipun ia terlupa berdzikir. Sementara itu, sang guru pun membantu muridnya yang sedang dalam keadaan salik untuk menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya.

Ulama-ulama Sufi berkata: “Apabila murid-murid mengucapkan dzikir LAA ILAAHA ILLALLAH dengan memusatkan perhatiannya secara bulat kepadaNya, maka terbuka segala tingkat ajaran Thariqat dengan cepat, yang kadang-kadang terasa dalam tempo satu jam, yang tidak dapat dihasilkan dengan ucapan kalimat lain dalam tempo satu bulan atau lebih.

Dengan berdzikir yang dilakukan secara khussu’ dengan bimbingan Guru Sufi yang mursyid, murid dapat membersihkan cermin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara dikit demi sedikit. Dalam masa itu, menyesallah sang murid atas dosa-dosa yang dilakukannya sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Ia tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertobat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Illahi yang kemudian merasuk keseluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan.

4. Hikmah Lanjut dari Dzikir: Qurb, Tenang, Fana, dan Ma’rifat

Kaum Sufi melaksanakan dzikir dengan begitu asyik dan khusyu’nya karena merasakan keni’matan, kelezatan dan kemanisan. Dengan berdzikir, mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma’rifat). Abu Sa’id Al-Harraz r.a. berkata: “Apabila Allah Ta’ala hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya ‘babul qurb’, kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam ‘darul fardaniyyah’, dan dibukakanlah kepadanya ‘Hijabul jalali wal’uzmati’. Apabila sampai pada ‘jalali wal’uzmati’, ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana.”

Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah.

Kejauhan itu lupa hati.
Kedekatan itu ingat hati.
Kejauhan itu hijab (tertutup).
Kedekatan itu kasyaf (terbuka).
Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur.
Gelap itu jahil, Nur itu Ma’rifat.

Rasulullah SAW bersabda: “Firman Allah Ta’ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). “Guru Sufi berkata:“Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya.”

Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: “… (yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang” (Ar-Ra’d 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur’an yang mulia, dan Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya.

Sampai di tingkat tertentu orang yang ber-thariqat-dzikir merasakan seluruh alam dan dirinya hancur lebur masuk ke dalam Allah SWT. Pada saat ini orang tersebut berada dalam tingkat yang fana. Firman allah dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 26-27: “Semua yang ada akan fana binasa, yang kekal adalah Tuhan sendiri yang Besar dan Maha Mulia.”

Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu’min dari bumi syahwat ke langit ma’rifat. Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy.” Guru Sufi mengatakan: “dalam asma yang tertinggi, orang dapat meningkat ke langit (mencapai martabat yang tinggi).” Dalam tingkat ma’rifat ini hamba Allah dapat melihat segala yang ajaib dan yang aneh-aneh dan segala rahasia yang besar dan kaifiat yang agung serta hakikat. Imam Ghazali berkata: “Ma’rifat itu berada di atas semua jalan dan wasilah yang penting dan besar. Yang demikian itu adalah wasilah “Al-Kasyafful al-Bathini’ atau ‘Wasilatul Ilham ar-Ruhi’, yang membawa manusia kepada sifat-sifat yang baik, dan membersihkan hati serta menjauhkan diri dari cara berpikir orang-orang materialis.”

5. Syariat, Thariqat, dan Hakikat

Penulis menangkap ada suatu kesan bahwa bila orang sudah pada tingkat hakikat maka tidak perlu lagi dia mempedulikan syari’at. Lebih jauh lagi bahkan ada yang mempertentangkan syariat dengan hakikat, syari’at menyalahkan hakikat dan hakikat meremehkan syari’at. Pandangan ini penulis kira tidaklah benar.

Dalam Tasawwuf, hubungan antara syari’at, thariqat, dan hakikat itu sangat erat, satu kesatuan yang bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan apalgi dipertentangkan. Thariqat atau jalan menuju Allah itu meliputi pekerjaan dzahir dan bathin. Pekerjaan dzahir disebut syari’at dan pekerjaan bathin disebut hakikat. Syari’at itu mempersembahkan ibadat kepada Tuhan dan hakikat itu memperoleh musyahadah dari padaNya.

Syari’at terikat dengan hakikat, dan sebaliknya hakikat terikat dengan Syari’at. Tiap-tiap pekerjaan syari’at yang tidak dikuatkan dengan hakikat tidak diterima dan tiap-tiap hakikat yang tidak dibuktikan dengan syari’at pun tidak diterima pula. Imam Al-Ghazali berkata: “Barang siapa mengambil syari’at saja tetapi tidak mau tahu tentang Hakikat, orang itu fasik. Barang siapa mengambil hakikat saja tetapi tidak melakukan syari’at maka dia itu adalah kafir zindiq. Sedangkan yang melakukan syari’at dan mengamalkan tasawwuf, inilah orang yang dinamakan ahli hakikat yang sesungguhnya.” Riyadhah dan latihan-latihan tharikat tidak akan berfaedah dan tidak akan mendekatkan dirimu kepada Allah SWT selama perbuatanmu tidak sesuai dengan syari’at dan sejalan dengan Sunnah Rasul.

Hubungan syari’at-thariqat-hakikat bisa dianggap analog dengan islam-iman-ikhsan. Apabila Seorang hamba Allah hanya sibuk dengan ibadah secara dzahir maka ia berada dalam maqam islam atau maqam syari’at. Apabila amal ibadah itu disertai dengan hati yang bersih dan ikhlas serta bebas dari kejahatan maka orang itu berada pada maqam iman atau maqam tharikat. Apabila manusia itu beribadat semata karena Allah, seakan-akan ia melihat Allah dan ia yakin Allah melihatnya maka hamba Allah itu berada dalam maqam ikhsan atau maqam hakikat.

6. Tasawwuf dan Dunia

Anggapan umum tentang Tasawwuf adalah bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka meninggalkan segala hal yang berbau dunia. Anggapan ini tidak seluruhnya benar. Kaum Sufi menjauhi sesuatu, termasuk dunia, yang menghalangi mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka pegang berdasarkan Firman Allah dalam Al- Qur’an Surat Al-Munafiquun ayat 8 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”

Akan tetapi apabila sesuatu, termasuk dunia, itu memperkuat ibadah mereka terhadap Allah, apalagi itu perintah Allah dan Rasulnya, merekapun akan mengambilnya. Sikap inipun dilandaskan pada Al-Quran dan Hadis seperti: “Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah engkau lupa akan nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu, janganlah bercita-cita berbuat di atas muka bumi ini karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan” (Q.S Al-Qosas 77), “Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi ini” (Q.S. Al-Baqarah 60), dan sabda Nabi Muhammada SAW: “Bukanlah orang baik jika engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya meninggalkan akhirat untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena dunia itu jalan ke akhirat dan jangan kamu bergantung kepada manusia” (Riwayat Ibn As-sakir).

Bahkan Ulama-ulama Sufi dari Thariqat-thariqat Syaziliyyah, Naqsyabandiyyah, dan Qadariyyah menganjurkan murid-muridnya untuk memakan makanan yang enak-enak, memakai pakaian yang bagus-bagus, tidur diatas kasur yang empuk, memiliki harta benda, dan sebagainya asal semuanya itu dapat mendekatkan muridnya kepada Allah. Ulama-ulama tasawwuf itu berkata: “Tidak mengapa mengikuti syahwat yang diperkenankan untuk diri kita, apabila ternyata dapat menguatkan ibadat seperti: tidak mengapa memakai pakaian yang bagus untuk melahirkan nikmat Tuhan. Tidak mengapa makan dan minum yang lezat-lezat untuk kepentingan kesehatan anggota badan bersyukur dan menjadi kuat panca indera.” Ahli ma’rifat Syazili mengatakan “Makan dan minumlah kamu dari makanan yang baik-baik, minumlah minuman yang sedap, tidurlah di atas tempat tidur yang empuk, berpakaianlah dengan pakaian yang halus, dan perbanyaklah dzikir kepada Tuhanmu.” Syeikh Bahauddin Naqsyabandi berkata: “Tiapa macam makanan harus baik dan beribadatpun harus baik pula”. Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: “Harta benda itu adalah khadammu dan engkau khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini harus menjadi manusia tauladan dan hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia.”

7. Penutup

Tasawuf itu bukanlah ilmu atau amal yang dapat dibahas secara ilmiah atau filsafati karena tasawuf hanya dapat ditangkap oleh hati, dan bukan oleh akal yang mempunyai keterbatasan. Rahasia Tasawuf tidak dapat dinikmati dengan hanya mempelajari buku-buku atau mendengarkan ceramah-ceramah karena buku-buku dan ceramah- ceramah tersebut tidak dapat mengekspresikan peristiwa bathiniyyah yang terjadi dalam dunia tasawwuf secara sempurna dan akurat yang disebabkan oleh keterbatasan bahasa manusia. Hikmah tasawwuf ini hanya dapat dirasakan dengan melakukan rhiyadhah dan latihan-latihan thariqat dengan tekun dan khussyu’ di bawah bimbingan Guru Sufi yang Mursyid.

Karena kendala-kendala diatas dan, yang lebih penting lagi, karena keawaman penulis dalam bidang Tasawuf maka tulisan ini jauh dari sempurna. Bila ada kebenaran maka kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, bila ada kesalahan maka kekeliruan itu sepenuhnya karena kekhilafan penulis. Untuk itu, penulis mohon ampun dan petunjuk dari Allah SWT serta mohon ma’af dan koreksi dari Akhi dan Ukhti sekalian

Meniti Perjalanan Ruhani Menuju Allah

Meniti Perjalanan Ruhani Menuju Allah

Tentang Safar dan Uns

Jalan ruhani adalah suatu kata kias yang biasa disebutkan oleh para penempuh jalan spiritual. Kata kias itu bisa mengarah ke atas seolah-olah Tuhan ada di atas, biasanya yang berparadigma ini menulis “Naik Tangga Spiritual”, ada juga yang menyebut “jalan yang lurus”. Akan tetapi, pada umumnya para Sufi meyakini bahwa Allah ada di dalam diri kita, adanya Allah di dalam diri ini tidak dimaksudkan seperti pada konsep ruang dan waktu yang berasumsi bahwa perjalanan adalah berangkat dari satu titik stasiun ke titik stasiun yang lain. Dekatnya Allah dengan diri kita tidak seperti dekatnya jarak ruang dan waktu. Allah adalah berbeda dengan mahluk-Nya, Allah terbebas dari dimensi ruang dan waktu.

Safar

Safar atau perjalanan spiritual (siyahah ruhaniah) adalah perjalanan rekreatif yang bersifat spiritual. Menurut Syaikh Muhyi ad din Ibn Arabi bahwa safar adalah ber-tawajuhnya hati kepada al Haqq dengan dzikir.

Safar dimulai ketika ketika hati berpaling kepada Allah dengan mengingat-Nya (dzikir). Safar arti sinonimnya adalah sayr wa suluk.

Salik

Salik adalah seorang pelancong, jamaknya salikun atau sang penempuh spiritual.

Tentang Uns

Uns arti harafiahnya adalah kedekatan, keakraban, atau sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa sepi. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada satu titik centrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, dan tidak ada yang diharap kecuali Allah. Walaupun situasi atau keadaan uns itu mirip atau hampir sama dengan fana, tetapi kaum Sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al Mahwu, yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah. Kesenangan dan kegembiraan hati hamba karena tersingkap baginya kedekatan (qurb), keindahan dan kesempurnaan Allah SWT.

Uns merupakan keadaan spiritual ketika hati dipenuhi cinta dan keindahan, kelembutan, belas kasih serta pengampunan Allah. Contohnya, keindahan uns tidak dapat dilukiskan, seperti yang dialami oleh pendengar dalam konser spiritual (sama’) yang menyebabkannya mengalami kemabukan (wajd) ketika menemukan Allah.

Uns merupakan wasilah untuk memperoleh Qurb, jadi bukan qurb itu sendiri, sebab ia merupakan kesucian kalbu dari selain Allah SWT.

Bagaimana pendapat pakarnya?

Situasi Al Uns ini mirip dengan al Fana, menurut Dzun An-Nun, sekiranya orang memperoleh keadaan uns, kiranya dia dilemparkan ke neraka dia tidak akan merasakannya.

Menurut Al Junaid, apabila seseorang telah mencapai jiwa al Uns, andaikan tubuhnya ia ditusuk dengan pedang ia tidak akan merasakannya.

Demikian sekilas mengenai uns, selanjutnya mari kita masuk kepada pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perjalanan spiritual dengan harapan kita tahu kapan kita akan memulainya dan kemana kita akan menuju. Insya Allah..

1. Apakah yang dimaksud perjalanan spiritual (syair wa suluk)?

Pencapaian seseorang dalam memahami esensi Allah dalam dirinya.

2. Dimana perjalanan spiritual dilakukan?

Di hati, di fisik, di pikiran?

Jawabannya di hati.

Pokok dari ajaran tarekat tasawuf adalah untuk men “ suci “ kan hati. Syarat penyucian hati yang per-tama adalah : Taubat secara Lahir dan Batin.

Taubat lahir berkaitan dengan : Perkataan, perbuatan, perasaan, menghindarkan diri dari dosa dan
memperbanyak kebaikan.

Taubat batin berkaitan erat dengan rohani, mengembalikan sikap rohani kita kepada tahap kesucian-nya yang semula, yaitu bersih tanpa noda dan tanpa dosa.

Keterkaitan antara rohani dengan jasad dan dunia akan melahirkan tenaga, baik yang positif maupun negatif. Tenaga negatif itu munculnya dari nafsu. Nafsu yang asalnya bersifat baik, kini sudah dikuasai oleh sifat-sifat buruk. Nafsu yang pada asalnya menghadap kepada Tuhan kini telah berpaling menghadap kepada yang bukan Tuhan.

Dasar dari taubat batin adalah membawa nafsu kembali keasalnya semula, yaitu mengarah kepada Tuhan. Rantai yang menyeret nafsu kearah yang salah harus segera diputuskan.

Tiga daerah nafsu yang perlu diketahui adalah : Ammarah, Lawwamah dan Mulhamah.

Rantai yang mengikat nafsu didalam daerah nafsu ammarah ini adalah nafsu yang paling kasar dan paling kuat. Pengikat nafsu di daerah ini adalah sifat-sifat yang tidak terpuji seperti :Sombong, Ujub, Riya dan Sama’ah.

Sifat-sifat tersebut membuat manusia merasa dirinya lebih baik, lebih mulia dan lebih cerdik dari pada orang lain. Suka menunjuk-nunjuk dirinya sendiri, suka dipuji-puji dan suka nama-nya menjadi terkenal.
Di daerah ini tidak ada nilai-nilai murni kemanusiaan dan tidak ada peraturan. Orang yang berada di-daerah ini sangat tamak akan harta. Tidak peduli dari mana sumber harta itu diperolehnya. Nafsu yang berada di-daerah ammarah ini suka : dengki, dendam, khianat dan berangan-angan.

Nafs Mulhalmah, dia menghadap kepada Tuhan dengan merendahkan diri dan berhajat kepada-Nya. Sifat merendah-kan diri yang sudah lahir dalam hati-nya akan membuat-nya tidak lagi suka meng-kritik orang lain secara sembarangan. Dia lebih memandang orang lain dengan pandangan simpati, bukan mengutuk.
Zikir-nya sudah masuk ke-dalam lubuk hati-nya yang paling dalam yang akan menguat-kan rasa ke-tergantungan-nya semata-mata hanya kepada Allah SWT saja.

Apabila keikhlasan ahli mulhamah ini sudah semakin bertambah kuat maka dia akan melakukan kebaikan bukan lagi karena ‘takut akan Allah’ akan tetapi semata-mata ha-nya‘karena Allah’ atau karena ingin mendapat-kan keridloan-Nya. Orang yang sudah berada pada tahap ini akan terus-me-nerus mentaati semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-nya, sekali-pun Tuhan tidak menjadikan Surga dan Neraka.

Keyakinan-nya hanya kepada Allah SWT semata-mata. Keyakinan-nya kepada Allah SWT sudah sangat mendalam, sebab itu dia sangat kuat melakukan tajrid, yaitu menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT saja, tidak kepada yang lain. Dia telah berada pada tahap yang di-ridlo-i oleh Allah SWT.

89. 27. “Wahai jiwa yang tenang”.
89. 28. “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Selain mengajar-kan perjalanan kerohanian melalui daerah-daerah nafsu, tarekat tasawuf juga mengajar-kan perkembangan kesadaran rohani melalui berbagai-bagai peringkat kebatinan. Suasana kebatinan itu dinamakan : Latifah Rabbaniah, yaitu unsur ghaib yang merupa-kan urusan Tuhan yang tidak mampu difikir-kan oleh manusia.

Latifah Rabbaniah yang tergolong sebagai Diri Batin adalah :
1) Latifah Kalbu, 2) Latifah Roh, 3) Latifah Sir, 4) Latifah Khafi,
5) Latifah Akhfa, 6) Latifah Nafsu Natiqah dan 7) Latifah Kullu Jasad.

Latifah Kalbu ada-lah hati nurani. Ia menjadi raja yang memerintah sekalian anggota dan tubuh ma-nusia. Ia menjadi induk bagi semua latifah yang lain. Kalbu atau hati itu-lah yang menjadi perhatian Allah SWT. Jika baik hati-nya akan baiklah seluruh anggota badan, dalam jiwa yang sehat terdapat badan yang kuat, bukan sebalik-nya.

Kesungguhan beribadat dan berzikir akan membebas-kan Latifah Kalbu dari hijab alam perasaan yang menutupi-nya. Bila Latifah Kalbu telah bebas dari tutup alam perasaan ia akan menghadap kepada alam ghaib dan menerima ilham yang bebas dari bisikan syaitan.

Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Kalbu membuat hati merasa-kan jalinan yang erat dan unik dengan Kenabian Adam a.s atau dapat juga dikatakan bahwa hati mengalami suasana Hakikat Adamiyah. Perjalanan Nabi Adam a.s menjadi pedoman untuk bertaubat dan membersihkan hati dari segala dosa dan kekotoran.

Keasyikan dalam suasana latifah ini sering membuat mata-hati kita mampu untuk menyaksikan cahaya dan warna di-alam ghaib. Keasyikan dalam Latifah Kalbu akan mem-bawa seseorang me-nyaksi-kan cahaya berwarna kuning yang gemerlapan.

Cahaya latifah yang disaksikannya bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukanlah Tuhan., karena-nya kita harus memperbanyak ucapan: “La ilaha illa Llah ”.

Latifah Kalbu adalah seumpama ruang yang besar, dimana di dalamnya terdapat berbagai-bagai latifah lagi. Tahap kesadaran latifah yang lebih mendalam di-nama-kan
Latifah Roh, atau dikenali sebagai Roh Hewani.·

Latifah Roh atau Roh Hewani itu di-hijab-kan oleh sifat-sifat keji yang disebut sebagai sifat binatang jinak.

Sifat ini akan menyeret manusia ke-jalan yang hanya me-muas-kan nafsu syahwat seperti hewan, tanpa meng-hirau-kan akibat dan dosa. Sifat binatang jinak ini-lah yang membuat manusia berani melakukan kesalahan walau-pun orang lain yang telah membuat kesalahan yang sama telah menerima akibat-nya.

Orang lain yang telah mati karena penyakit aids tidak menakut-kan binatang jinak untuk terus berbuat maksiat. Orang lain yang sudah di-hukum gantung sampai mati karena menjual narkoba tidak menakut-kan binatang jinak untuk terus menjual narkoba.

Memang sifat binatang tidak mengenal dosa dan tidak takut kepada penyakit. Tenaga ibadat dan zikir yang masuk ke-daerah Latifah Roh akan menghancurkan sifat binatang jinak itu. Bila sifat tersebut telah hancur , maka akan muncul-lah sifat Latifah Roh yang asli, yaitu gemar beribadat, kuat ber-tawakal dan ridlo / rela dengan takdir Tuhan.

Kesadaran pada tahap ini (Latifah Roh) akan membuat seseorang banyak melakukan ibadat dan berzikir tanpa merasa penat dan jemu. Di-daerah ini akan muncul hubungan kerohanian antara Kenabian Ibrahim a.s dengan Nabi Nuh a.s. ‘Pertemuan’ dengan Hakikat Ibrahimiyah dan Nuhiyah akan menguat-kan kesanggupan seseorang untuk berjuang dan berkorban demi mendapat-kan ke-ridlo’an Allah SWT.

Keasyikan dalam daerah Latifah Roh ini akan membawa mata hati kita untuk dapat menyaksikan cahaya yang berwarna merah yang gilang gemilang. Cahaya latifah ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan memperbanyak ucapan : “La ilaha illa Llah ”.

Setelah melewati daerah Latifah Roh seseorang akan mengalami pula suasana ke-rohani-an di-daerah Latifah Sir atau di-nama-kan Roh Insani. Latifah Sir atau Roh Insani ini dihijab oleh sifat buruk yang di-nama-kan sifat binatang buas. Sifat tersebut mendorong manusia untuk saling : bermusuhan, melakukan kezaliman, saling mendendam dan saling membenci.

Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Sir inilah yang sering membuat hati gila akan Allah s.w.t hingga ke-tahap tidak-rasional. Dalam daerah ini juga terjalin hubungan kerohanian dengan Kenabian Musa a.s.
Hakikat Musawiyah membawa-nya merasakan kedekatan dengan Allah s.w.t dan me-rasai nikmat Cinta Ilahi. Ke-asyik-an dalam daerah ini membawa mata hati menyaksikan cahaya berwarna putih yang gemerlapan. Cahaya latifah ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, karena-nya mesti dinafikan dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ” sebanyak mungkin.

Seterus-nya hati akan mengalami suasana Latifah Khafi. Latifah ini dihijab-kan oleh sifat syaitaniah yang menerbit-kan perasaan dengki, khianat dan busuk hati. Apabila tenaga ibadat dan zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh dapat meng-hancur-kan sifat syaitaniah, maka akan muncul sifat latifah yang asli iaitu sabar, syukur, ridlo dan tawakal yang sebenar-nya.

Kesadaran pada tahap Latifah Khafi ini, akan membuat seseorang mengalami hubungan kerohanian dengan Kenabian Isa a.s atau Hakikat Isaiyah. Kesadaran di-daerah ini akan menambah kekuatan rohani untuk menghampiri Allah s.w.t, pada tahap ini akan selalu muncul perkara yang luar biasa seperti kemampuan untuk mengobati penyakit dan mempunyai firasat yang tajam, walau-pun bidang-bidang tersebut tidak pernah dipelajarinya.

Keasyikan dalam Latifah Khafi membawa seseorang mampu untuk me-nyaksi-kan cahaya hitam yang tidak terhingga. Cahaya ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan se-kali-kali bukan Tuhan. Ia mesti dinafi-kan dengan memperbanyak ucapan : “La ilaha illa Llah ”.

Kesadaran kebatinan seterus-nya di-nama-kan Latifah Akhfa yang dihijab oleh sifat Rabbaniah (ketuhanan) yang tidak layak dipakai oleh makhluk. Sifat tersebut melahir-kan rasa sombong, ujub dan ria. Apabila tenaga ibadat dan zikir mampui untuk mem-bebas-kan Latifah Akhfa dari sifat Rabbaniah maka akan muncul sifat kebaikan seperti ikhlas dan tawaduk yang sebenar-nya.

Kesadaran dalam daerah ini membuat seseorang gemar bertafakur. Dalam kesadaran latifah ini juga lahir hubungan kerohanian yang erat dengan Kenabian Muhammad s.a.w atau Hakikat Muha-mmadiah. Orang yang bersangkutan akan mengalami rasa kasih, keasyikan dan kerinduan yang amat sangat terhadap Rasulullah SAW. Ucapan salawat merupa-kan ucapan yang sangat merdu dan meng-asyik-kan.
Keasyikan terhadap Rasulullah s.a.w dalam daerah Latifah Akhfa ini juga membuat seseorang akan mengalami suasana ‘pertemuan’ dengan rohani Rasulullah s.a.w seperti dalam mimpi.

Hakikat Muhammadiah membawa seseorang memasuki suasana Cinta Allah SWT yang lebih halus, lebih ber-seni, lebih nikmat serta memperoleh muraqabah atau berhadapan dengan Allah SWT semata-mata, tidak kepada selain-Nya. Keasyikan pada latifah ini juga membawa seseorang untuk dapat menyaksi-kan cahaya hijau yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan ucapan : “La ilaha illa Llah ”.

Latifah seterus-nya dinamakan Latifah Nafsu Natiqah. Latifah ini juga dikenal sebagai diri yang boleh berfikir. Nafsu Natiqah dihijab oleh sifat ammarah yang banyak mem-bentuk khayalan dan melahir-kan penyakit panjang angan-angan. Dalam daerah inilah gambar-gambar yang disukai oleh nafsu syahwat ditayang-kan. Keinginan kepada ke-senangan dan ke-seronok-an dunia berpuncak di-daerah ini. Apabila tenaga ibadat dan zikir sanggup meng-hapus-kan sifat ammarah, akan muncul-lah suasana hati yang ten-teram dan fikiran yang tenang.

Keasyikan dalam kesadaran Nafsu Natiqah ini akan membawa seseorang menyaksikan cahaya yang berwarna ungu yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan sebanyak mungkin dengan ucapan : “ La ilaha illa Llah ”.

Latifah yang terakhir di-kenal sebagai Latifah Kullu Jasad yang meliputi seluruh tubuh. Latifah ini dihijab oleh sifat jahil dan lalai. Apabila hijab tersebut mampu dihapuskan oleh tenaga ibadat dan zikir akan muncul-lah sifat berilmu dan beramal. Tena-ga zikir yang berjalan lancar dalam daerah ini dapat dirasakan mengalir ke-seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ke-ujung kaki, menyerap ke-segenap rongga dalam tubuh badan, bercampur dengan darah, daging, tulang, sumsum dan seluruh maujud. Suasana yang demikian bisa di-kata-kan bahwa seluruh tubuh berzikir.

Keasyikan dalam latifah ini membawa seseorang menyaksi-kan cahaya yang gilang gemilang tidak dapat dibayang-kan dan ditentukan warna-nya. Cahaya ini, seperti juga cahaya-cahaya yang lain, bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan dan perlu di-nafikan dengan ucapan : “ La ilaha illa Llah ”.

Tujuan tarekat tasawuf adalah membawa hati keluar dari kegelapan dan masuk kedalam cahaya yang terang benderang. Dalam dunia ini benda-benda nyata bisa di-saksi-kan karena ada-nya cahaya terang seperti matahari, bulan dan lampu. Perkara dunia yang abstrak dapat di-saksi-kan melalui cahaya akal.
Alam ghaib dapat pula di-saksi-kan melalui cahaya latifah. Walau-pun cahaya latifah muncul seben-tar saja dalam pandangan mata hati namun ia cukup memadai untuk me-nerangi perjalanan menuju stasiun kerohanian berikutnya.

Apabila seseorang mencapai baqa semua cahaya tidak mempunyai warna, maka tidak ada penyak-sian terhadap cahaya, tetapi hati masih dapat merasakan suasana yang terang benderang menerangi perjalanan-nya, sehingga dia tidak merasa keliru atau ragu-ragu.

Cahaya-cahaya alam kerohanian memandu seseorang untuk sampai ke-Hadrat Ilahi. Suasana Hadrat Ilahi adalah makam ihsan, yaitu merasai kehadiran Tuhan dalam segala keadaan dan pada setiap saat. Orang yang sampai kepada pengalaman yang demikian itu, akan mengerti maksud firman Allah SWT:
Allah jualah Cahaya bagi langit dan bumi. ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Nur Allah SWT adalah Hadirat-Nya atau kehadiran-Nya yang dapat dirasakan oleh hati yang terkait-erat dengan roh-nya yang asli. Nur Allah SWT bukan-lah cahaya yang bo-leh di-fikir-kan, di-gambar-kan atau di-khayal-kan. Maksud melihat Nur Allah SWT ada-lah merasakan ke-hadiran-Nya.
Apa-pun warna cahaya yang di-saksi-kan di-dalam alam ghaib adalah cahaya yang Dia gubah sebagai alat untuk menarik hamba-hamba-Nya agar dapat terus berjalan sehingga sampai kepada alamat yang dituju. Alamat yang terakhir hanya dapat di-temui dan di-capai melalui obor-cahaya kebenaran yang sejati.
Dan demikian-lah Kami wahyu-kan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal tidak-lah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman.

Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami.

Dan sesungguh-nya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di-semua langit dan apa yang ada di- bumi. Ketahui-lah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )

Wahyu adalah cahaya kebenaran yang sejati, dijadikan nur yang memberi petunjuk yang dengan-nya segala urusan sampai kepada Allah SWT.

3. Bagaimana caranya perjalanan spiritual itu dilakukan?

Jawaban Versi Pertama :

Oleh Idries Shahh, “Mahkota Sufi, Menembus Dunia Ekstra Dimensi”

Tujuh Diri (Nafsu)
Pengembangan diri di Jalan Sufi mensyaratkan Salik untuk melampaui tujuh tahap persiapan, sebelum individualitas siap menunaikan tugasnya secara utuh. Tahap-tahap itu yang kadangkala disebut “manusia”, adalah tingkatan dalam transmutasi kesadaran, istilah teknis untuk nafs, jiwa. Pendek kata, tahap-tahap perkembangan itu, masing-masing memungkinkan kekayaan batin lebih lanjut di bawah bimbingan seorang guru praktis, adalah:
1. Nafs al-ammarah (nafsu merusak, menguasai diri)
2. Nafs al-lawwamah (nafsu tercela)
3. Nafs al-mulhimah (jiwa yang rakus)
4. Nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang)
5. Nafs ar-radiyah (jiwa yang tulus)
6. Nafs al-mardiyah (jiwa yang terbebaskan)
7. Nafs ash-shafiyah wa kamilah (jiwa yang suci dan sempurna).
Nafs disyaratkan melalui proses yang diistilahkan “kematian dan kelahiran kembali”. Proses pertama, yaitu Mati Putih menandai tingkat perkembangan awal murid, ketika ia mulai membangun kembali nafs spontan dan emosional, sehingga hal ini selanjutnya akan menyediakan suatu sarana untuk menjalankan kegiatan kesadaran, yaitu nafs kedua. Sifat-sifat jiwa “tenang, terbebaskan”, dan sebagainya, mengacu pada dampak terhadap individumaupun kelompok dan masyarakat secara umum, dan berbagai fungsi yang sangat jelas pada setiap tahap.
Fenomena penting dari tujuh tahap dalam latihan-latihan Sufi itu adalah sebagai berikut:
1. Lepas kendali diri, mempercayai diri sebagai personalitas koheren, mulai belajar bahwa ia mempunyai berbagai kemampuan personal, sebagai individu yang berkembang. 2. Permulaan kesadaran diri dan “penentuan”, dimana pemikiran secara spontan melihat apa itu kesadaran diri.
3. Permulaan integrasi mental, ketika jiwa mempunyai kemampuan memasuki tahap yang lebih tinggi dibandingkan kebiasaan sebelumnya.
4. Kedamaian, keseimbangan individualitas.
5. Kemampuan melakukan tugas, tahap pengalaman baru yang tidak bisa dideskripsikan di luar analogi yang sejalan.
6. Aktivitas dan tugas baru, termasuk di luar dimensi individualitas.
7. Pemenuhan tugas rekonstitusi, kemampuan mengajar orang lain, daya bagi pemahaman obyektif
Unsur-unsur Sufisme
Sepuluh Unsur Sufisme mengacu pada kerangka kerja individual, dimana sebagai Salik, ia menggali potensi untuk bangun atau hidup dalam dimensi yang lebih agung dan berada di luar pengalaman biasa. Al-Farisi mencatatnya sebagai berikut:
1. Pemisahan dari kesatuan.
2. Persepsi pendengaran.
3. Persahabatan dan asosiasi.
4. Preferensi yang benar.
5. Penyerahan pilihan.
6. Pencapaian secara cepat “keadaan” tertentu.
7. Penetrasi pemikiran, pengujian diri.
8. Perjalanan dan gerakan.
9. Kepasrahan dalam menerima rezeki.
10. Pembatasan keinginan atau ketamakan.
Latihan dan pelatihan Sufi berdasar pada Sepuluh Unsur ini. Sesuai dengan kebutuhan murid, guru akan memilihkan program-program studi dan tindakan untuknya dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk melaksanakan berbagai fungsi yang terangkum dalam Unsur-unsur itu. Oleh karena itu, faktor-faktor ini adalah dasar persiapan individu menuju perkembangan dimana apabila ia tidak bisa mengalami atau merasakan, ia dibiarkan mencapainya sendirian.

Jawaban Versi kedua :
Seseorang mesti bebas untuk bisa sepenuhnya menjadi
cahaya bagi dirinya sendiri. Cahaya bagi diri sendiri!
Cahaya ini tidak bisa diberikan oleh orang lain, Anda
juga tidak bisa menyalakannya pada lilin yang lainnya.
Jika Anda menyalakannya pada lilin yang lain, itu
hanya layaknya sebatang lilin, ia bisa tertiup mati
dengan mudah. Penyelidikan untuk mencaritahu apa arti
dari menjadi cahaya bagi diri sendiri merupakan bagian
dari meditasi.

Jawaban Versi ketiga :

Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran.

Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.

Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam mulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam syahadah.

Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya telah diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut:

“Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua, qalb yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”

“Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” (Al-Fath [48]: 4).
“Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi seorang penjaga (hafidh) atasnya” (Rasulullah SAW).

Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu, mengingkari dan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia (terikat kepada syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa ‘menjual’ agamanya demi kesenangan sesaat.

Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.

“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam nafs masing-masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq” (Al-Fushshilat [41]: 53).
“Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya” (Al-Qashash [28]: 88).

Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad (corpus) janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam Nur atau alam Alastu.

“Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka, ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab ‘Benar! Kami menyaksikan’ Agar di hari kiamat kamu tidak berkata: ‘Sesungguhnya kami lengah (atas kesaksian) ini’” (Al-Araf [7]: 172).

Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha dan qadarnya ditetapkan terlebih dahulu: “amal-amal insan dikalungkan pada ‘leher’nya” (Q.S Al-Isra’ [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa misi hidup (swadharma) yang harus dimanifestasikan di muka bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat langit si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum [30]: 30).

Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs (self).

Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan.
“Kemudian Dia menyempurnakan (janin), dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan fu’ad, tapi sedikit di antara kamu yang bersyukur” (As-Sajdah [32]: 9).

“Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” (Az-Zumar [39]: 6).
Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia yang bersifat material.

Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama lain dan membangun kompleks-kompleks sayyi’ah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa.

“Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) adalah seorang yang melihat?’” (Thaha [20]: 125).

“Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” (Al-Hajj [22]: 46).

“Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas akhirat… Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai” (An-Nahl [16]: 107-108).

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya” (Al-Furqaan [25]: 43-44).

“Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat jalannya” (Al-Isra [17]: 72).

Bila nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan pendidikan atas tentara lahir dan tentara batinnya.

“Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” (An-Naazi’at [79]: 40).

Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil sayyiah, dimana ‘racun’ hati ini secara efektif dapat mematikan qalb. Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran (unconsciousness).

Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya. Karena qalb tak berfungsi, maka manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta hati) kecuali hati jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya saja.

“Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih tersesat” (Al-A’raf [7]: 179).

Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya “melihat” al-haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53). Dalam dunia tashawwuf, hirarki ‘uruj kesadaran batin mencakup tujuh proses

Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh An-Nuur [24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.

“Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” (Rasulullah SAW)

Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanya Ulul-Albaab yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab” (Al Baqarah [2]: 269).

Proses ‘uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.

“Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]: 13)

“Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” (Thaha [20]: 82).

“Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Al-Hujurat [49]: 11).
Pikiran yang tak jernih bisa mematikan qalb, dan jika qalb mati berarti qalb kehilangan Cahaya Jabarut-nya dan ini berdampak lumpuhnya si nafs dalam diri manusia. Jika nafs dalam diri manusia lumpuh maka lumpuh pula kekuatan amr dalam dirinya, sehingga aksi fungsi transenden ke ruang kesadaran tidak terjadi. Orang yang sehat qalb-nya dari dosa-dosa dan penyakit hati akan sehat pula nafs-nya, dan jika si nafs sehat ia akan membimbing raga untuk menemukan obat bagi penyakit fisiknya, dan ini perlu waktu:
“Barang siapa sehat qalb-nya maka akan sehat jasmaninya” (Rasulullah SAW).

Dengan mengerjakan misi hidupnya atau qudrah dirinya (dharma yoga) maka qalb orang itu terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika qalb selamat (qalbun salim) ia akan ‘melihat’ Tuhannya. Kata Al-Ghazali, satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah qalb-nya. Qalb adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi) yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani. Lebih jauh Al-Ghazali berkata bahwa jika seseorang tidak mengenal qalb-nya maka tidak akan mengenal nafs-nya; jika nafs tidak dikenal maka dharma tak dikenal; jika dharma tak dijalankan maka terputus jalan untuk menuju Sang Pencipta; dan jika ia terputus jalan maka kesadarannya tidak akan melampaui alam-alam, sehingga kebijakan-kebijakan Ilahi dalam kehidupan semesta tak terpahami (oleh akal bawahnya). Maka dikatakan Allah SWT bahwa hanya Ulul-Albaab (orang yang memiliki akal jiwa/lubb) yang bisa memahami ayat-ayat-Nya, dan lubb itu tidak menyala jika cahaya qalb padam.
Inteligensia atau kecerdasan fisik kekuatannya hanya menyentuh sejauh alam fisik. Jika kita mencoba menggunakan kecerdasan fisik untuk menggeneralisasi atau menginduksi imajinasi ke alam malakut, maka hal ini seperti nasib elemen-elemen vektor yang jika dioperasikan bagaimanapun dengan hukum-hukum ruang vektor, tidak akan melompat keluar dari ruang vektornya. Akibatnya “pantai yang lain” selalu tak diketemukan. Kecerdasan ‘bawah’ hanyalah bayangan dari kecerdasan jiwa (kecerdasan ‘atas’) yang mestinya bisa dilahirkan dengan jalan mujahadah dalam tazkiyyatun-nafs.

Al-Quran menyinggung ihwal pertumbuhan pribadi insan hingga baligh-nya dan ihwal usia 40-tahunan, dimana manusia sudah harus melakukan proses taubat (Al-Ahqaaf [46]: 15). Dengan proses taubat maka fitrah insani dalam arti yang haqiqi akan terbuka (Ar-Ruum [30]: 30-31), dimana fitrah ini terkait dengan persoalan swabhawa-swadharma dan qadha-qadar, dan ini terletak di nafs manusia yang harus direalisasi.

Jika manusia melupakan Allah SWT, atau menomorduakan urusan Tuhannya, maka Dia akan membuat si manusia tersebut lupa akan nafsnya (Al-Hasyr [59]: 18-19), dan lumpuhlah si nafs itu dari berkata-kata (nathiqah) ihwal fitrah dirinya padahal kesaksian tentang perkara “misi hidup” ini telah diambil si nafs sebelum ia dimasukkan ke rahim ibu (Al-’Araaf [7]: 172).

Aspek olah jiwa (suluk) atau dimensi batin dari agama-agama sebenarnya untuk tujuan transformasi dari “arah dalam,” mengubah sayyi’ah-sayyi’ah menjadi hasanah-hasanah (Al-Furqaan [25]: 70-71). Apa yang disebut dengan kecerdasan, di tingkat apapun merupakan produk dari transformasi-transformasi diri, terutama transformasi jiwa. Dalam konsep Al-Qur’an, kecerdasan seseorang dalam suatu lingkup dharma berbanding lurus dengan tingkat kesucian jiwa yang diperoleh lewat jalan taubat (Al-Mu’min [40]: 13). Jika jiwa tumbuh maka akal jiwa (lubb) akan tumbuh juga, sehingga hiduplah akal luar dan akal dalamnya, sejalan dengan apa yang dikatakan Rasulullah SAW:

“Tiap-tiap sesuatu bekerja menurut caranya (orbitnya) masing-masing, maka Rabbmu mengetahui siapa-siapa yang terpimpin jalannya (huwa ahda sabiila). Dan mereka bertanya kepadamu ihwal Ar-Ruh, katakanlah bahwa Ar-Ruh itu dari amr Rabbku, dan tidak kamu diberi pengetahuan tentang ini kecuali sedikit” (Al-Israa [17]: 84-85).

Dari ayat di atas, jelas bahwa aspek Ar-Ruh atau Ruh Al-Quds (Holy Spirit) dihubungkan dengan orbit diri atau misi hidup tiap-tiap insan yang unik satu sama lain. Dan rahasia dari Ar-Ruh ini terletak di nafs, dan seperti Al-Ghazali katakan bahwa jika qalb tak dikenal maka nafs tak dikenal. Siapa yang seolah-olah melupakan Allah, maka Allah buat dia lupa akan nafsnya, sehingga tertutuplah jalan untuk mengenal Dia. Barang siapa tidak mengenal nafsnya maka ia tidak akan mengenal Tuhannya.

Jawaban Versi ke empat :

Anand Krishna, dalam buku karangannya “Haqq Moujud”, menjelaskan bahwa ada tujuh anak tangga menuju Tuhan. Biasakan bicara dengan lembut, setiap hari sisihkan waktu bagi dirimu sendiri dalam keheningan, belajar memaafkan dan melupakan kesalahan orang, sayangi mereka yang berbuat jahat kepadamu, bukalah hatimu bagi segala sesuatu yang baik, hindari lingkungan dan persahabatan yang tidak menunjang evolusi bathin dan terakhir, hargai segala sesuatu, tetapi janganlah terikat pada sesuatu. Keterikatan hendaknya pada yang satu-Allah.

Jawaban Versi Kelima :

Evelyn Underhill 1)menguraikan jalan mistik sebagai jalan yang dilewati oleh salik menuju Illahi, langkahnya sebagai berikut :
– Bangkitnya kesadaran (awakening)
– Pembersihan (purification)
– Penerangan (ilumination)
– Malam gelap jiwa (the dark night state)
– Kesadaran bersatu (the unitive state).

Jawaban versi keenam :

Al Attar, dalam “Musyawarah Burung”, mengungkapkan “Burung-burung itupun akhirnya sepakat untuk mencari Simurgh, tetapi sebelum memulai perjalanannya Hudhud menggambarkan tujuh bukit – melambangkan jalan Sufi menuju kesempurnaan – yang harus dilalui : Pencarian, Cinta, Pemahaman, Kemandirian dan keterlepasan, Kesatuan Murni, Ketakjuban dan akhirnya kefakiran dan kenihilan (kehampaan jiwa).

Akhir dari pengembaraan burung-burung dalam mencari Si-Murgh, setelah selubung akal dari jiwa disingkapkan sepenuhnya dan mereka menemukan Si-Murgh (tiga puluh burung), adalah merupakan refleksi dari Sang Raja.

Pada awalnya penemuan transformasi kesadaran, yaitu proses identifikasi dengan objek pencarian, membuat mereka takjub, mereka tidak tahu apakah mereka masih merupakan diri mereka atau apakah mereka telah menjadi Si-murgh.

Dan jika mereka melihat kedua-duanya secara bersama-sama, keduanya adalah Simurgh, tidak kirang dan tidak lebih. Yang ini adalah itu, dan yang itu adalah ini”.

Jawaban Versi ketujuh,

Al Ghazali dari kitabnya yang lain :Al Ghazali, mengungkapkan di dalam kitab Al Munkid Min Al Dzalal “Sungguh jalan ini tidak bisa diikuti kecuali dengan ilmu dan amal, yang harus menempuh tanjakan-tanjakan ruhani dan membersihkannya dari ahlak-ahlak tercela dan sifat jahat. Sedemikian sehingga, hati menjadi kosong dari selain Allah, kemudian mengisinya dengan dzikir.
Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal. Aku pelajari kitab-kitab sufi terdahulu, sehingga aku paham secara ilmiah. Penjelasan lebih dalam aku ikuti dan aku dengar dari uraian mereka. Tampak, pada posisi tertentu, perjalanan tasawuf ini tidak bisa ditempuh dengan belajar dari ilmu, tetapi dengan dzauq (fruitional experience), hal dan kebersihan hati. Tentu berbeda orang yang kenyang dengan orang yang tahu pengertian kenyang.

Masih banyak perjalanan sufi yang lain, seperti Al Jilli, Ibn Arabi, Al junaed, atau yang dari negeri sendiri, Syech Siti Jenar, Hamzah Fansuri, ekspresi antara satu sufi dengan sufi yang lainnya sungguh berbeda.

4. Kapan sebaiknya perjalanan spiritual ini dilaksanakan?

Sekarang ini, bahkan sejak saat baru lahir..

5. Mengapa perlu adanya perjalanan ruhani menuju Allah?

Agar kita memahami secara benar esensi Allah pada diri kita, sehingga syahadat yang kita ucapkan adalah benar adanya.

6. Siapa saja yang bisa melakukan perjalanan ruhani menuju Allah?

Syaikh Allamah Sayyid Abdullah Haddad, semoga Allah meridhoinya menjawab : Para murid dan salik yang akan melakukan perjalanan ruhani itu ada dua macam, pertama salik yang berikhtiar dan berusaha keras. Dia adalah salik qabl al jadzb (orang yang berjalan menemukan Tuhan dengan kekuatan sendiri sebelum ada kekuatan yang menariknya. Dan kedua Salik bil ghalabah wa al idhthirar (orang-orang yang berjalan menemukan Tuhan karena terkalahkan dan terpaksa. Dia adalah al majdzub al suluk (tertarik sebelum berjalan).

Sebagian ahli tharekat berpendapat bahwa salik qabl al jadzb lebih utama, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.

7. Apa yang dimaksud bersama Allah?

Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahasia kepada Tuan Pemilik Rahasia, maka manusia itu semestinya mengutamakan kesuciannya untuk menuju ke peringkat asal kejadian rahsia Allah Taala. “AL INSANUL SIRRUHU WA ANA SIRRUHU”, Maksudnya; “Manusia itu adalah rahasiaKu dan aku adalah rahsia manusia itu sendiri”.

Dengan memahami Martabat Alam Insan ini , maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahwa diri kita ini adalah SifatNya Allah Taala semata-mata. Diri sifat yang di tajallikan bagi menyatakan SifatNya Sendiri yakni pada Alam saghir dan Alam Kabir.Dan Allah Taala Memuji DiriNya dengan Asma’Nya Sendiri dan Allah Taala menguji DiriNya Sendiri dengan Afa’alNya Sendiri.

Dalam memeperkatakan Martabat Alam Insan kita memperkatakan diri kita sendiri. Diri kita daripada Sifat Tuhan yang berasal daripada Qaibull-Quyyub (Martabat Ahdah) yaitu pada martabat Zat hingga zahir kita menyifati sifat Muhammad. Oleh yang demikian wujud atau zahirnya kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnyadiri kita ini adalah penyata kepada diri Tuhan semesta alam semata-mata. Seperti FirmanNya: ‘INNALILLA WAINNA ILAIHI RAJIUN’ artinya “Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”.

Setelah mengetahui dan memahami secara jelas dan terang bahwa asal kita ini adalah Tuhan pada Martabat ahdah dan NyataNya kita sebagai SifatNya pada Martabat Alam Insan dan pada Alam Insan inilah kita memulakan langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat Sifat kepada Martabat Tuhan kembali yaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Zat.

Ukuran kesalehan atau kedekatan dengan Tuhan itu, tidak dilihat dari pengalaman-pengalaman rohani yang aneh-aneh, misalnya : bisa melihat cahaya, menangis histeris, terisak-isak, merasakan kesunyian yang mencekam atau menciptakan peristiwa-peristiwa gaib. Bukti kesalehan-nya justru dibuktikan dengan kita menjadi pelaksana dari kasih sayang Tuhan.

8. Apa Yang dimaksud Di dalam Allah?

“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ‘sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).

Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah,
hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.

Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’. ‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng-
‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal–perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang.

Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal: “Awaluddiina ma’rifatullah”, Awalnya diin adalah ma’rifat (meng-’arif-i) Allah.

9. Apa yang dimaksud khalifah Allah?

Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.
Dalil tentang khalifah ini : QS 2:30, 7:129, 27:62, 35:39, 38:26

Kesimpulannya :

Jadi, perjalanan ruhani kita hakekatnya adalah mengungkap makna ‘INNALILLA WAINNA ILAIHI RAJIUN’ artinya “Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”.

Tasawuf : Jalan Menuju Tuhan

Tasawuf : Jalan Menuju Tuhan

Ada anekdot dalam dunia mistis, “Jika ia mencintai batu maka ia adalah batu. jika ia mencintai manusia maka ia adalah manusia. Jika ia mencintai Tuhan, maka aku tidak bisa menjawab. Aku khawatir jika aku menjawabnya kalian akan melempariku dengan batu“. Demikian gambaran bagaimana rahasia dan tingginya ajaran tasawuf hingga tidak jalan lain bagi penganut tasawuf jika membuka ajaran tersebut di muka publik kecuali dimusuhi dengan umat yang tidak mengetahui dan mengenal tasawuf.

Sebenarnya kemunculan tasawuf sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad saw kepada manusia di Arab. Namun ajaran tasawuf ini diajarkan Nabi Muhammad khusus kepada beberapa sahabatnya yang memiliki tingkat spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya, seperti Ali kwh, dan sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan tentang ajaran tasawuf ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa as sebagai simbol eksoteris tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr, simbol pembawa pesan esoteris. Demikian juga dengan para sahabat nabi, tidak semua dapat menjangkau ketinggian ajaran ini. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa ajaran tasawuf belum banyak diketahui saat itu.
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya:

Nabi Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan Ahmad dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku, maka ia telah melihat Haqq.Dalam suatu riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi yang waktu itu di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya. “Siapa Abu Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi sedang dalam keadaan yang berbeda.Nabi Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di hati Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.Ali: “Aku mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja aku membukanya pada orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali panjang yang dijulurkan ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain diriwayatkan melalui Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar Abu Hurairah tidak menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang terjadi pada riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.Pada hari Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka sebagian sahabat berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”. Ketika disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.Suatu hari sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah bin Malik bin Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya cekung serta berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya: “Siapakah engkau?” “Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa tanda-tandanya?” tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku sedih, yang menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang hari (lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia ini. Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.” Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut perang dan gugur sebagai syahid.dan berbagai riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya Kumayl tentang Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.

Tatkala Nabi saw wafat, Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet spiritual sentral dari Nabi, meskipun sahabat Nabi lain juga meneruskan dakwah Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar memiliki keunggulan yang diakui oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar bukan hanya memegang kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan kerohanian. Saidina Ali adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan kerohanian dari Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di atas para sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir ibn Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk. Hal ini dapat juga dilihat dari hampir semua sanad tarikat menyambung melalui pribadi Ali kwh. satu-satunya sahabat yang pernah berkata “Bertanyalah kepadaku”, bahkan tentang sesuatu sampai hari kiamat. Dalam masa ini tasawuf masih belum begitu kentara atau terekspos dalam sejarah. Kemungkinan riwayat-riwayat tentang tasawuf kalah marak dengan riwayat tentang masalah suksesi kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw wafat, masalah hukum fiqh yang menjadi aspek penting dalam kehidupan umat Islam, dan masalah-masalah lain dalam menyatukan umat Islam yang baru saja ditinggalkan Nabi Muhammad saw. Namun beberapa riwayat yang patut diketahui misalnya riwayat terakhir di atas.

Seiring dengan berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada masa para raja dinasti Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam, mulai dari penyebaran agama Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi. Beberapa latar belakang yang memungkinkan tasawuf mulai dikenal misalnya: kebobrokan moral dan spiritual yang marak seiring dengan kemajuan ekonomi dan kemaksiatan yang merajalela. Kekeringan spiritual tersebut semakin bertambah parah sejalan dengan semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih menekankan pada aspek-aspek lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar pemeluk mazhab. Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam tradisi Islam. Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi filsafat, cara berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam. Filsafat Yunani, Persia menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam tradisi umat Islam sehingga memunculkan para filosof Muslim dan ahli kalam yang pada akhirnya filsafat menjadi bintang dalam tradisi Islam. Mereka menggunakannya untuk menjawab segala persoalan yang ada, termasuk tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan dengan-Nya.

Pertumbuhan tasawuf yang awal masih minim dengan istilah-istilah asing. Semua penjelasan tasawuf masih sederhana. Namun tatkala filsafat mulai masuk dalam tradisi Islam, istilah-istilah asing mulai dimunculkan. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana jalan hidup bertasawuf, menjelaskan ‘perasaan’ para sufi kepada para murid-murid yang baru memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga mengajarkan bahwa untuk ‘menjumpai’ Tuhan bukanlah dengan akal filsafat sebagaimana yang marak saat itu. Tasawuf pulalah yang mengisi kekosongan aspek moral spiritual yang tidak diajarkan dalam hukum fikih saat itu yang hanya mengajarkan dan berdebat tentang aspek-aspek lahiriyah semata.

Namun diterimanya tasawuf di tradisi Islam, bukan tanpa aral. Sebagian tokoh, terutama kalangan ulama fikih menganggap tasawuf bukan dari ajaran Islam, tasawuf ajaran sesat, meninggalkan syariat dan sebagainya. Namun semua tuduhan tersebut terbantahkan, banyak ayat-ayat Qur’an yang menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi besar menempatkan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja mereka, kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi dalam al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah bersabda: “al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak olehmu ia berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apapun yang disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang disukainya dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya“.

Mengenai tuduhan bahwa sufi meninggalkan syariat merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Para tokoh sufi memegang syariat dengan kuat, bahkan lebih teguh daripada para penentangnya. Lihatnya saja bagaimana Abu Yazid al-Bustami – yang pernah ekstase dan mengucapkan “Subhani, subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka menyembahlah kepada-Ku“,- tidak pernah meludah di tanah di dekat Masjid, tidak pernah makan buah melon karena ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi Muhammad saat memakannya, Bahkan salah satu perintah Tuhan yang difirmankan kepadanya, “Untuk keluar dari keakuanmu, ikutilah kekasih kita, Muhammad orang Arab. Lumurilah matamu dengan debu kakinya dan teruslah mengikuti dia“.

Lihat juga berapa rakaat shalat sunah yang al-Hallaj si Hulul dirikan di dalam penjara sebelum penyalibannya. Bahkan dalam keadaan disalib dan mendekati ajalnya, Al-Hallaj menyuarakan do’a pada Allah, “Wahai Tuhan, mereka semua yang sedang berkumpul di sini adalah hamba-hambamu yang mencoba membunuhku demi kefanatikannya terhadap agama-Mu, dan juga dengan alasan untuk mendekatkan diri mereka kepada-Mu. Oleh karenanya, ampunilah mereka semua. Seandainya Kau singkapkan pengetahuan kepada mereka sebagaimana yang Kau anugerahkan padaku, niscaya mereka tidak akan bertindak sebagaimana yang dilakukannya padaku ini“. Begitu pula dengan Ibn ‘Arabi sang Wahdah Wujud, bukanlah ia penganut mazhab zahiriyah yang hampir selaras dengan madzab Hanbalinya Ibn Taymiyah. Keteguhan memegang syariat ia lakukannya sekalipun dapat membahayakan nyawa diri dan muridnya, seperti diceritakan ketika Ibn ‘Arabi berjalan-jalan dengan para muridnya dan bertemu dengan rombongan khalifah. Ia melarang muridnya memulai salam, – sebagaimana kebiasaan saat itu,- pada rombongan khalifah yang saat itu mengendarai kuda karena menurut sunnah Nabi pengendara kuda harus memulai salam terlebih dahulu kepada pejalan kaki. Diantara amalannya yang diajarkan kepada muridnya, adalah dzikir agung “La ilah illa Allah”, menjaga kelanggengan wudhu, melarang rukhshah (mencari kemudahan dalam hukum) dan sebagainya.

Tak kenal maka tak sayang“, mungkin pepatah ini pantas ditujukan kepada para penentang tasawuf. Mereka menentang dengan gigih tasawuf karena belum mengenal, mengetahui, memahami bagaimana ajaran tasawuf sesungguhnya. Namun begitu mereka mengetahui maksudnya mereka pasti akan mengikuti dan mengamalkannya. Demikianlah yang terjadi pada para penentang tasawuf, seperti al-Izz ibn Abd Salam. Konon dahulu ia pernah mengatakan ketika ia masih mengingkari komunitas sufi, “Apakah ada jalan lain yang kita punyai selain al-Qur’an dan al-Hadits.” Namun Tuhan menuliskan takdir lain baginya. Ketika berkecamuk peperangan melawan orang-orang eropa di wilayah Manshurah dekat teluk Dimyat, para ulama berkumpul. Saat itu Syaikh Izz al-Din bin Abdul al-Salam, Syaikh Makin al-Din al-Asmar, Syaikh Taqi al-Din bin Daqiq al-Id dan kawan-kawannya membuat satu majelis. Di majelis itu terjadi diskusi yang cukup menarik mengenai kitab al-Risalah al-Qusyairiyah karya al-Qusyairi. masing-masing memberikan komentarnya tentang materi yang terdapat di kitab itu. ketika sedang seru-serunya acara diskusi berlangsung, datanglah syaikh Abu al-Hasan al-Syadzily.

Melihat kedatangan al-Syadzily, mereka memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan itu untuk bertanya kepada al-Syadzily. Salah satu dari mereka berkata, “Kami ingin mendengar dari anda mengenai maksud yang dikandung dari beberapa bagian dalam kitab ini.” al-Syadzily kaget mendengar permintaan itu. Merasa tidak pantas menjawab, al-Syadzily berkata, “Anda semua adalah orang-orang yang mendapat julukan Syaikh al-Islam dan para pembesar ulama zaman ini. Anda semua telah memberikan semua komentar anda, sungguh sudah tidak ada lagi bagi orang seperti ruang untuk mengomentarinya.”

Mereka tetap mendesak al-Syadzily untuk memenuhi permintaan mereka itu. Mereka berkata, “Tidak begitu, justru kami tetap ingin mendengar komentar anda. Silakan berikan komentar anda.” Didesak begitu, al-Syadzily dengan memuji kepada Allah swt, memulai komentarnya. Di sela-sela al-Syadzily memberikan komentarnya, tiba-tiba syaikh Izz al-Din bin Abdul al-Salam menjerit dari dalam kemah dan kemudian keluar memanggil-manggil dengan suara yang keras, “Kemarilah! Kemarilah! Dengarkan semua apa yang dikatakan al-Syadzily. Ini adalah suatu perkataan yang begitu dekat dengan Allah.

“Semoga Allah swt menjadikan anda dan kami sebagai golongan orang-orang yang membenarkan wali Allah swt, dan meyakini karamah-karamah atas anugerah dan karunia-Nya.” Demikianlah doa Ibn Arabi dalam korespondensinya dengan Fakhr al-Din al-Razy, penulis tafsir Mafatih al-Ghayb

Kamis, 25 Januari 2018

ANGIN DUDUK

#ANGINDUDUK

Pada suatu ketika dimana "Nabi Allah Sulaiman A.S" duduk di Singgasana, maka datang 'satu Angin' yang cukup besar, maka bertanya "Nabi Allah Sulaiman" : "Siapakah engkau... ?!?

Maka dijawab oleh Angin tersebut : "Akulah 'Angin Rihul Ahmar' dan Aku bila memasuki Rongga Anak Adam, maka Lumpuh, keluar Darah dari Rongga Hidung dan apabila aku memasuki Otak Anak Adam, maka menjadi Gilalah Anak Adam. . ."

Maka diperintahkan oleh "Nabi Sulaiman A.S", supaya membakar Angin tersebut, maka berkatalah, 'Rihul Ahmar' kepada "Nabi Sulaiman As.S" bahwa :
"Aku Kekal sampai hari Kiamat tiba, tiada Sesiapa yang dapat membinasakan Aku melainkan Allah SWT"...!!!

Lalu #Rihul_Ahmar pun menghilang...!!!

Diriwayatkan bahwa : Cucu "Nabi Muhammad SAW" terkena 'Rihul Ahmar' sehingga keluar Darah dari Rongga Hidungnya.

Maka datang Malaikat Jibril kepada "Nabi SAW"  dan bertanyalah "Nabi" kepada Jibril...!!!

Maka menghilang sebentar, lalu Malaikat Jibril kembali mengajari akan 'Do'a Rihul Ahmar' kepada "Nabi SAW", kemudian dibaca Do'a tersebut kepada Cucunya dan dengan sekejap Cucu Rasulullah sembuh dengan serta merta...!!!

Lalu "Nabi SAW" bersabda :
"Bahwa barangsiapa membaca 'Do'a Stroke / Do'a Rihul Ahmar', walaupun sekali dalam seumur hidupnya, maka akan dijauhkan dari Penyakit 'ANGIN AHMAR atau STROKE'...!!!

Do'a agar dijauhkan/terhindar dari 'Angin Ahmar dan Penyakit Kronis', sbb. :

اللهم إني أعوذبك من الريح الأحمر والدم الأسود والداء الأكبر

"Allohumma innii a'uudzubika minar riihil ahmar, wad damil aswad, wad daail Akbar."

Artinya :
"Yaa Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari Angin Merah dan dari Darah Hitam (stroke) dan dari Penyakit Berat."

'Riihul Ahmar' biasa masuk pada saat seseorang Tidur Bakda Ashar hingga waktu Isya'.

Maka hindarilah tidur diwaktu itu Sekantuk / Secapek apapun. . . silahkan dirasakan sendiri perbedaan tidur tengah hari (siang), Bakda Ashar & malam hari pada saat bangun dari tidur waktu² tsb.

Teruskanlah ke Group Keluarga, Sahabat kita yang kita sayang, agar kita semua  terhindar dari 'STROKE'.....Insya' Allah...!!! 👍🙏☝

Semoga kita senantiasa dalam Balutan Sehat Wal A'fiat...!!!

Aamiin Yaa Rabbal'alamiin... 🙏☝👍

Dikirim oleh Farouq Alkomy

*GUSTI ALLAH wis BOSAN karo  SAMPEYAN???*

*GUSTI ALLAH wis BOSAN karo  SAMPEYAN???*

Seorang  tukang tambal dandang bocor bertanya pada seorang Ustadz di kampung yang jadi salah satu langganannya.

"Pak ustad, kenapa ya. Saya kok merasa susah dan penuh masalah. Cari rizki sulit, cari pekerjaan susah, pokoknya amburadul hidup saya.

Saya juga merasa jenuh dengan hidup saya yang begini2 aja..! Terasa hambar, tak ada arahnya, dan tak ada nikmatnya. Bosan saya ustadz. *Saya ingin bahagia tapi kenapa susah sekali ya?"*

"Oooo..! Mungkin saat ini *Allah juga lagi BOSAN dengan sampean.*"

"Hahh! Allah bosan dengan saya ? Maksudnya bagaimana ustadz?", tanya si tukang tambal dandang bocor itu

"Mungkin Allah capek mencari sampean, Cak... Sebab dicari kesana kemari tapi sampean tak pernah ditemukan."

Setelah berhenti sejenak, ustadz tersebut melanjutkan,

"Sampean dicari oleh Allah diantara kumpulan orang yang sholat berjamaah di masjid, tidak ada.

Dicari di antara kumpulan DHUHA, sampean juga tak ada.

Dicari di antara kumpulan TAHAJJUD juga tak ada
Dicari di antara kumpulan PUASA Sunah yo blass ra tau, *mangan tok ae bendino.*

Dicari di antara kumpulan SEDEKAH juga tak kelihatan batang irungmu.

Dicari di antara kumpulan TADARUSAN Qur'an, sampean juga tak nampak di sana.

Dicari di antara kumpulan orang orang yang UMROH, *niat pun sampean tidak punya.*

Tukang tambal dandang bocor itu diam menunduk, ia merasa seperti ada sesuatu yang menohok relung hatinya.

Si ustadz kampung melanjutkan...

"Sampean dicari Allah di antara orang2 yang *tepat waktu  SHOLATNYA,* sampean juga tak ada. *Malah sholat sampean kerjakan paling belakang dibanding aktivitas lainnya.*

Memangnya siapa yang ngasih waktu dan umur pada sampean.

Dicari di antara Ahli SHOLAWAT pun tak ada.

Dicari di antara yang MENUNTUT ILMU (agama/pengajian/ta'lim), Yo ora ono blass.

Dicari diantara orang yang mengamalkan dan menegakkan SILATURRAHIM, sampean Yo ra Ono. *Mbuleeet2 wae nang omah, sok sibuk... sok repot... ngutak-ngatik sing kurang manfaat*

Terus Allah mau mencari sampean di mana lagi? Coba sampean beritahu..!

Tukang tambal dandang bocor itu diam. Palu yang yang asalnya dia pukul2kan ke body dandang mendadak berhenti

"Bicaralah... ngomongo, Ojo meneng ae', " ucap ustadz kampung itu

Maka menangislah si tukang tambal dandang bocor tadi. Sambil mengusap airmatanya yang bercucuran, seperti cucuran air hujan yang meresap lewat genteng bocor,  ia lalu ber-Istighfar.

"Tobat... Ustadz....tobat kulo"

*"Hidup itu sederhana, Cak"...*
*"Kalau kita memprioritaskan Allah..., Dia pun pasti memprioritaskan kita."*

...Monggo koreksi diri,  mumpung masih ada waktu..._ ⏱
termasuk koreksi untuk diri saya sendri

BAGINDA NABI BESAR MUHAMMAD SAW, MENCERITAKAN TENTANG JASSASAH (MATA-MATA DAJJAL) DAN KEBERADAAN DAJJAL LA'NATULLOH YANG DI BELENGGU DENGAN KUAT DAN ERAT. KEDUA TANGANNYA TERIKAT SAMPAI LEHERNYA, DI ANTARA KEDUA LUTUTNYA SAMPAI KEDUA MATA KAKINYA DI BELENGGU DENGAN BESI. DAN TANDA - TANDA AKAN KEMUNCULANNYA DI AKHIR ZAMAN.

BAGINDA NABI BESAR MUHAMMAD SAW, MENCERITAKAN TENTANG JASSASAH (MATA-MATA DAJJAL) DAN KEBERADAAN DAJJAL LA'NATULLOH YANG DI BELENGGU DENGAN KUAT DAN ERAT. KEDUA TANGANNYA TERIKAT SAMPAI LEHERNYA, DI ANTARA KEDUA LUTUTNYA SAMPAI KEDUA MATA KAKINYA DI BELENGGU DENGAN BESI. DAN TANDA - TANDA AKAN KEMUNCULANNYA DI AKHIR ZAMAN.

Termaktub dalam kitab Al Jawahirul Lu'lu'iyyah Fii Syarhil Arba'inn Nawawiyyah hal. 85 - 86 dijelaskan sebagai berikut :

ومن مناقبه رضي ﷲ عنه أنَّ النبي صلیﷲ عليه وسلم حدث عنه علی المنبر قصۃ الجسَّاسۃ والدجال,وحاصلها أنَّ النبي صلی ﷲ عليه وسلم جَمَعَ الناس, فلما حضروا وقضی صلاته, جلس علی المِنۡبَر وهو يضحك,فقال : ((ليلزم كلّ إنسان مصلاه)) ثم قال : (( أتدرون لِمَ جَمَعۡتَكُمۡ ؟ )) قَلُوۡا : ﷲُ وَرَسُوۡلُهُ أَعۡلَمُ. قَالَ: (( وَﷲِ مَاجَمَعۡتَكُمۡ لِرَغۡبَۃِِ وَلَا لِرَهۡبَۃِِ, ولكن جمعتكم لأَنَّ تَمِيۡمََا الدَّاري كَانَ رَجُلََا نَصۡرَانِيََّا, فجَاء فبايع وَأَسۡلَم, وحدثني حديثََا وافق الذي كنتُ أُحَدِّثُكُمۡ به عنِ الۡمَسِيۡحِ الدَّجَّال. حدثني أنه رَكِبَ فِيۡ سَفِيۡيۡنۃ بحۡرِيه مع ثلاثين رَجُلََا من لخم وجذام, فلعب بهم الموجُ شَهۡرََا في الۡبَحۡرِ فأرسوا إلی جَزِيۡرۃ, أي قَاربوها, حيث تغرب الشمس,فَجَلَسُوا فِيۡ أَقۡرَبِ السَّفِيۡنَۃۡ فَدَخَلُوۡا الۡجَزِيۡرَۃَ دابَّۃُُ كَبِيۡرَۃٌ كَثِيۡرَۃُالشَّعۡر, لَا يَدۡرُوۡنَ مَاقبلها مِنۡ دُبُرِهَا مِنۡ كثرۃ الشعر, فقالوا : وَيۡلَكۡ مَاأَنۡتِ؟ قَالَتۡ: أنا الجَسَّاسَۃۡ, قالت : أيها الۡقَوم انطلقوا إلي هذا الرجل في الدِّيَر فإنه إلي خبركُم بالأشواق قال : فلما سمَّت لنا رجلاََ فَزَعۡنَا مِنهَا, فَانۡطَلَقۡنَا سِرَاعََا حَتَّی دَخَلۡنَا الدير, فَإِذَا فِيۡه أَعۡظَمُ إِنۡسَان رَأَيۡناَهُ خَلۡقََا وَأَشَدَّهُ وَثَاقَا,مَجۡمُوۡعَۃُُ يَدَاهُ إلی عُنُقَهُ,مَابَيۡنَ رُكۡبَتَيۡهِ إلی كَعۡبَيۡهِ بِالۡحَدِيۡد, قُلۡنَا : وَيۡلَكۡ مَا أَنۡتَ؟ قَال: قد قدرتُم علی خَبَري فَأَخۡبَرُوۡنِيۡ مَا أنۡتُمۡ؟ قالُوۡا: نَحۡنُ أُنَاسٌ مِنَ الۡعَرَب رَكِبۡنَا فِي سَفِيۡنۃِ بَحۡرِيَّۃ فلعب بنا الۡمَوۡجُ شَهۡرََا فَدَخَلۡنَا الۡجَزِيۡرۃ, فلقيتنا دَابَّۃ كَثيۡرۃ الشعر, فقالت : انا الجساسۃ, إعۡمَدُوۡا إلی هَذَا الدير . فأقۡبلنا إليۡك سِرَاعََا, فقال : أخبروني عَنۡ نَخۡلِ بَيۡسَان هل تثمر ؟ قلنا : نعم. قال : أما إنها يوشك - أي يقرب - ألّا تثمر. قال : أخبروني عَنۡ عَيۡنِِ زُغَرۡ هل في العين ماء؟ وهل يزرع أهلها بِمَاءِالۡعَيۡن ؟ قلنَا : نعم, هِيَ كَثِرَۃُ الۡمَاء وَأَهۡلُهَا يَزۡرَعُوۡنَ مِنۡ مَاءِهَا. قَال : أخۡبِرُوۡني عن نَّبِيِّ الۡأُمِّيّيۡنَ مَا فَعَلَ؟ قُلۡنَا : قدخَرجَ مِنۡ مكۃ ونزل بِيَثۡرِب, اسم للمدينۃ قبل النهي عنه, قال : أقاتلته العرب؟ قلنا: نعم. قال: كيف صنع بهم؟ فأخۡبرناه أنه قد ظهر علی من يليه من العرب وأطاعوه. قال: أما إنَّ ذلك خيرٌ لهم إن يطيعوه, وإني مخبركم عني. إني أنا المسيحُ, سُمِّيَ بذلك لأنه يَمسحُ الأرض في الۡمُدَّۃِ الۡيَسِيۡرۃ,وإنِّيۡ يوشك أنۡ يُوءۡذَنَ لِيۡ فِي الۡخُرُوۡجِ فَأخرج فأسِيۡرُ الۡأَرض,فلا أدَعُ قَرۡيَۃََ إلا هبطتها في أربعين ليلۃ, غير مكۃ وطيبۃ هُمَا محرمتان عَلَيَّ, أي مَمۡنُوۡعٌ مِن دُخُولِهِمَا كلتاهما, كلما أردتُ أن أدخلَ واحِدَۃََ منهما استقبلني مَلكٌ بِيدِه السَّيۡف صَلۡتََا, أي مَسۡلُوۡلََا, يصدّني عنهما. وإنَّ علي كُلِّ نقب,أي طريق منهما, ملاءكۃََ يَحۡرُسُوۡنَهُمَا. وطعن رسول ﷲ صلي ﷲ عليه وسلم بمخصرته في المنبر وقال: "هذه طيبۃ, هذه طيبۃ, هذه طيبۃ" يعني المدينۃ. " ألا هل كنتُ حدَّثتكم ذلك؟" قالوا : نعم. والمخصرۃ, مايتوكأ عليه كالعصاونحوها,ومايشير به الخطيۡب إذَا خاطب النَّاس.

(  أَلۡمَنقُول مِنۡ كتاب اَلۡجَوَاهِرُ اللُّوءۡلُوءِيَّۃُ فِيۡ شَرحِ الۡأَرۡبَعِيۡن النَّوَوِيَّۃ ص : ٨٥-٨٦ في الۡحديث السابع .للعلامۃ الفقيه محمد بن عبدﷲ الجرداني )  ( رواه مسلم(٢٩٤٢) ,وأبو داود(٤٣٢٦), والترمذي(٢٢٥٣), وابن ماجه (٤۰٧٤) وأحمد(٤١٨,٤١٧,٤١٣,٣٧٤,٣٧٣/٦).

Dan dari manaqibnya Shohabat Abi Ruqoyyah Tamim bin Aus Addaariy RA. Bahwasanya Rosululloh SAW di atas Mimbar menceritakan tentang kisah Jassasah (mata-mata dajjal) dan Dajjal.
Tatkala Rasulullah telah menyelesaikan shalatnya, beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa, kemudian bersabda, ‘Hendaknya masing-masing orang tetap duduk di tempat shalatnya.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kalian tahu kenapa aku mengumpulkan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’

Beliau bersabda, ‘Demi Allah, aku tidak mengumpulkan kalian untuk memberikan semangat, dan bukan untuk menakut - nakuti kalian. Aku mengumpulkan kalian karena Tamim Ad-Dari dulunya seorang Nasrani, kemudian ia datang berbai’at dan masuk Islam. Ia menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sama seperti apa yang telah aku kisahkan kepada kalian tentang Dajjal.

Ia bercerita bahwa ia pernah mengarungi laut dengan kapan laut bersama 30 orang dari suku Lakham dan Judzam, kemudian mereka dipermainkan ombak selama sebulan di tengah laut, lalu mereka berlabuh di sebuah pulau di tengah laut hingga matahari akan terbenam.

Kemudian mereka duduk-duduk di perahu kapal dan masuk ke pulau itu. Lalu, sesuatu yang berambut lebat dan tebal menemui mereka. Mereka tidak mengetahui mana bagian depan dan mana belakangnya karena banyak rambutnya. Mereka bertanya, ‘Celaka, siapakah kamu?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah Al-Jassasah (mata-mata).’ Mereka bertanya, ‘Apa itu Al-Jassasah?’ Ia menjawab, ‘Wahai kaum, pergilah ke pria yang berada di gua itu, ia ingin sekali mendengar kabar dari kalian.’

Tamim berkata, ‘Tatkala binatang tadi menyebutkan seorang pria kepada kami, kami pun takut kalau sekiranya pria itu setan. Kemudian kami bergegas pergi hingga memasuki gua itu. Ternyata di dalamnya ada seorang pria yang sangat besar. Kami belum pernah melihatnya, ia sedang di belenggu dengan kuat dan erat. Kedua tangannya terikat sampai lehernya, di antara kedua lututnya sampai kedua mata kakinya di belenggu dengan besi.

Lalu kami bertanya kepadanya, ‘Celaka, siapakah kamu?’ Dia menjawab, ‘Kalian telah mengetahui tentang aku, maka beritahukan siapakah kalian?’ Kami menjawab, ‘Kami adalah orang-orang dari bangsa Arab. Kami berlayar dengan menaiki sebuah kapal laut. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh laut yang mengamuk, lalu kami dipermainkan ombak selama sebulan. Selanjutnya, kami mengungsi ke pulau kamu ini, lalu kami pun duduk di perahu kapan dan masuk pulau. Kemudian binatang berambut lebat dan tebal menemui kami, kami tidak tahu bagian mana depan dan mana belakangnya karena banyak rambutnya.

Lalu kami bertanya, ‘Celaka, siapa kamu ini?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah Al-Jassasah,’ lalu kami bertanya, ‘Apakah Al-Jasssasah itu?’ Dia berkata, ‘Pergilah ke pria yang berada di gua itu karena ia ingin sekali mendengar kabar dari kalian.’ Lalu kami bergegas menuju anda, kami kaget setelah melihatnya dan merasa takut, siapa tahu itu adalah setan.’

Selanjutnya pria itu meminta, ‘Ceritakan kepadaku tentang pohon kurma Baisan!’ Kami balik bertanya, ‘Kabar mana yang ingin kamu ketahui?’ Ia menjawab, ‘Aku bertanya kepada kalian apakah pohon kurma tersebut sedang berbuah?’ Kami menjawab, ‘Ya’, Ia berkata, ‘Bukankah ia hampir tidak berbuah?’

Dia berkata, ‘Ceritakanlah kepadaku tentang danau Ath-Thabariyyah.’ Kami bertanya, ‘Kabar mana yang ingin kamu ketahui?’ Dia bertanya, ‘Apakah di dalamnya masih ada air?’ Mereka menjawab, ‘Airnya banyak.’ Dia berkata, ‘Bukankah airnya hampir kering?’

Pria itu meminta lagi, ‘Ceritakan kepadaku tentang mata air Zughar.’ Mereka menjawab, ‘Kabar mana yang ingin kamu ketahui?’ Dia bertanya, ‘Apakah di dalamnya masih ada air, dan apakah penduduk sekitarnya bercocok tanam dengan airnya itu?’ Kami menjawab, ‘Ya. Airnya banyak dan penduduk bercocok tanam dengan menggunakan airnya.’

Ia berkata, ‘Ceritakan kepadaku tentang Nabi yang ummi itu, apa yang telah dia lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Nabi itu telah keluar dari Mekkah dan tinggal di Yatsrib (Madinah).’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah orang Arab memeranginya?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana ia memperlakukan mereka atau apa yang ia perbuat terhadap mereka?’ Kami pun menyampaikan bahwa nabi tersebut telah menundukkan orang-orang Arab yang mendatanginya dan mereka taat kepadanya.

Dia bertanya, ‘Apakah hal itu telah terjadi?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata lagi, ‘Ingatlah bahwa sebaiknya mereka mematuhinya, dan aku memberitahukan kepada kalian tentang diriku, sesungguhnya aku adalah Al-Masih Ad-Dajjal, dan aku hampir diperbolehkan keluar (muncul). Aku akan muncul dan berjalan di muka bumi. Aku tidak membiarkan sebuah kampung kecuali aku menetap di dalamnya selama 40 malam, selain Mekkah dan Thaibah, karena keduanya diharamkan bagiku.

Setiap kali aku akan memasuki salah satunya, seorang malaikat akan menyambutku dengan pedang terhunus. Ia menghalangiku, dan pada tiap celah jalan-jalannya terdapat malaikat yang menjaganya.’”

Fathimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil beliau menusukkan tongkatnya di mimbar, ‘Inilah Thaibah itu, inilah Thaibah itu, inilah Thaibah itu –-yakni Madinah—-. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan haditsku ini? Para sahabat menjawab, ‘Ya.’

Bahwasanya kisah yang disampaikan Tamim telah mencengangkanku. Ceritanya persis dengan kisah yang aku ceritakan kepada kalian, juga tentang Madinah dan Mekkah. Ketahuilah, sesungguhnya Dajjal itu berada di Laut Syam atau Laut Yaman! Tidak, tetapi dari arah timur dan beliau mengisyaratkan tangannya ke arah timur ."
وَاللّٰهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالٰی أَعۡلَمُ بِالصَّوَاب.
Silahkan shere,
Semoga bermanfaat untuk kaum muslimiin di mana saja berada Aamiin.