Rabu, 30 Desember 2015

Menjaga hati sang guru

jika kita awalnya belum bisa
menjalankan sholat khusyu kemudian kita belajar
dengan guru. Dari belajar
kepada Beliau kita mendapat kan banyak hal
dalam sholat. Lalu ditengah-tengah perjalanan
selama berguru kepada beliau kita mengalami
suatu masalah yang menyebabkan kita jengkel
dengan guru , Kejengkelan ini sangat bahaya
karena termasuk mendurhakai guru. akibat dari
jengkel kepada beliau adalah apa apa yang
pernah diajarkan oleh beliau akan kita tolak juga
secara bawah sadar akibatnya kekhusyuan yang
pernah beliau sampaikan dan kita rasakan
manfaatnya lama lama akan hilang dalam diri
kita, naudzubillah mindzalik.
guru yang pernah mengajarkan kita terutama
mengajarkan jalan hidup, apapun yang dia
lakukan jangan membuat kita jengkel sebab akan
merusak apa apa yang pernah beliau ajarkan.
Jika kita menghadapi masalah dengan guru
tetaplah agar tidak jengkel dengan guru tersebut,
minimal tidak suudzan.
Siapapun guru itu harus kita hormati, jika tidak
cocok dengan pendapatnya maka sebaiknya
diam. jangan menanyakan, mendebat bahkan
menghujat. Mungkin bagi guru spiritual hujatan
murid tidak membuatnya sakit hati, namun
secara otomatis (bawah sadar) akan terjadi
kontra terhadap apa yang dia ajarkan. Sehingga
bisa saja ajaran guru tersebut putus atau
tertolak, hal inilah yang menyebabkan apapun
yang diajarkan guru kita tidak akan paham
paham. Alloh berfirman menerangkan kisah Nabi Musa
AS bersama Nabi Khidir AS :
ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ﻣﻮﺳﻰ ﻫﻞ ﺃﺗﺒﻌﻚ ﻋﻠَﻰ ﺍﻥ ﺗﻌﻠﻤﻨﻲ ﻣﻤﺎ ﻋﻠﻤْﺖ
ﺭﺷﺪﺍ
Musa berkata kepada Khidir ,, “Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu
yang telah diajarkan kepadamu ?” (QS Al-Kahfi
66)
Berkata Imam al Junaid, Ketika Nabi Musa AS
ingin bersama Nabi Khidir AS, maka Nabi Musa
AS disyaratkan untuk menjaga kesopanan yang
telah disepakati dengannya. Syarat ini berkaitan
dengan permintaan izin Nabi Musa AS untuk
diperbolehkan bersahabat dengan Nabi Khidir AS,
kemudian Nabi khidir AS memberikan syarat
kepada Nabu Musa AS utuk tidak menentang
atau memprotes keputusannya. Kemudian ketika
Nabi Musa AS tidak menepati peraturan yang
pertama dan kedua, maka kekeliruan Nabi Musa
AS ini dimaafkan. Akan tetapi ketika pelanggaran
itu sampai ketiga kalinya, tiga merupakan batas
terakhir, maka Nabi Khidir AS memutuskan untuk
berpisah dengannya seraya mengatakan,
ﻫﺬﺍ ﻓﺮﺍﻕ ﺑﻴﻨﻲ ﻭﺑﻴﻨﻚ
“Inilah perjalanan antara aku dan kamu”. (QS Al-
Kahfi 78).
RasuluLlah SAWW bersabda, “Tidaklah anak
muda memuliakan seorang guru karena umurnya,
melainkan Alloh akan mentakdirkannya di masa
tuanya dengan dijadikan orang lain yang akan
berganti menghormati (memuliakannya).”
Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq RahimahuLlah berkata,
“awal setiap perpisahan adalah karena adanya
pelanggaran, yakni orang yang melanggar
gurunya sehingga ia tidak lagi tetap pada
thariqah (jalan) gurunya dan hubungan antara
keduanya menjadi terputus, walaupun keduanya
berada dalam satu tanah. Barang siapa yang
bersahabat dengan seorang syaikh atau guru
kemudian menentangnya dengan hatinya, maka
ia telah merusak perjanjian hubungan murid
dengannya, dan ia wajib bertobat”.
Berkata seorang Syaikh, “Menentang guru tidak
ada taubatnya (secara sempurna)”.
Syaikh Abu AbdruRrahman As-Sulami berkata,
“Saya pernah keluar menuju Marwa di saat guru
saya Al-Ustadz Abu Sahal Ash-Sha’luki masih
hidup. Sebelum saya keluar beberapa hari yang
lalu, dia mengadakan majlis pembacaan Al-Qur’an
dan khataman. Ketika pulang, saya melihat dia
sedang menggantikan majlis ini dan mengadakan
pembicaraan dengan Abul Ghaffani pada saat
itu. Saat itu hati saya merasa tidak setuju dan
bergumam dalam diri saya sendiri, “Dia telah
menggantikan majlis khataman dengan majlis
pembicaraan”. Di hari yang lain, guru saya
berkata kepada saya, “Wahai Abu AbduRrahman,
apa yang dikatakan orang-orang tentang saya ?”
Jawabku, “Mereka mengatakan bahwa tuan guru
telah menggantikan majlis khataman Al-Qur’an
dengan majlis pembicaraan”. Lalu Ustadz Abu
Sahal Ash-Sha’luki menjawab dengan
menjelaskan, “Barang siapa yang berkata kepada
gurunya dengan mengatkan mengapa atau untuk
apa, maka ia tidak akan beruntung selamanya”.
Telah diketahui bersama bahwa Al-Junaid
berkata, “Saya pernah datang kepada Sarry As-
Saqthi di suatu hari. Dia menyuruh saya untuk
mengerjakan sesuatu, dan saya
melaksanakannya dengan cepat. Ketika saya
kembali kepadanya, ia memberi saya selembar
kertas dengan berkata,” Inilah tempat
pelaksananamu tentang keperluan saya yang
kamu laksanakan dengan cepat”. Kemudian saya
membaca tulisan kertas tersebut yang ternyata
tertulis : “Saya mendengar seorang penggiring
onta mendendangkan lagu di lembah :
Saya menangis
Tahukah kamu apa yang menyebabkan aku
mnangis ?
Saya menangis karena takut kamu akan
meninggalkanku
Dan takut kamu akan memutuskan tali
hubunganku
Serta kamu biarkan aku hidup sendiri.
Diriwayatkan dari Abul Hasan Al-Hamdani Al-
Alawi yang berkata, “Di suatu malam saya
berada di tempat Abu Ja’far Al-Khuldi, saya
diperintahkan untuk menggantungkan burung di
sangkar di rumah saya, maka saya mengikuti
petunjuknya. Kemudian Ja’far berkata kepadaku,,
‘Bangunkanlah di waktu malam’. Maka sayapun
mengajukan suatu alasan (pertanyaan
kepadanya) kemudian pulang ke rumah dan
mengeluarkan burung dari sangkarnya. Burung itu
berhenti di hadapan saya. Tiba-tiba muncul
seekor anjing yang masuk lewat pintu ,
membawa burung tersebut ketika orang-orang
yang hadir lengah. Ketika pagi hari tiba, saya
datang kepada Ja’far. ketika dia melihatku, dia
berkata, “Barang siapa tidak menjaga perasaan
para guru maka Alloh akan menyuruh anjing
untuk menyakiti (mengganggunya).”
AbduLlah ar-Razy telah mendengar Abu Utsman
Said Al-Hirri menerangkan sifat Muhammad bin
Al-Fadhal Al-Balkhi dan memujinya. AbduLlah
ingin sekali mengunjunginya. Ketika
mengunjunginya, hati AbduLlah tidak terkesan
dengan Muhammad bin Al-Fadhal sebagimana
yang diduga sebelumnya karena itu, AbduLlah
kembali kepada Abu Utsman.
“Bagaimana kamu dapati dia ?”Tanya Abu
Utsman.
“Saya menemuinya tidak seperti yang saya kira”.
Jawab AbduLlah
“Karena kamu menganggap kecil
(meremehkannya) . ketahuilah tidak seorangpun
yang meremehkan orang lain melainkan ia akan
dihalangi faedah darinya, karena itu kembalilah
kepadanya dengan penuh penghormatan”.
AbduLlah akhirny kembali kepada Muhammad bin
Al-Fadhal Al-Balkhi, dan dalam kunjungnnya itu
dia membawa banyak manfaat.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Ketika
penduduk Balkh mengusir Muhammad bin Al-
Fadhal dari daerahnya, dia mendoakan mereka,
“Ya Alloh hilangkanlah kejujuran dari mereka.”
Maka di daerah Balkh sesudah itu tiada
seorangpun yang bisa dipercaya’”.
Ahmad bin Yahya Al-Abiwardi rahimahuLlah
berkata.”Barangsiapa yang diridhai gurunya maka
sepanjang hidupnya tidak dibalas (kejelekan) oleh
Alloh agar rasa ta’zimnya kepada gurunya tidak
hilnag. Ketika guru itu telah meninggal, maka
Alloh menampakkan balasan keridhaan gurunya.
Barang siapa yang gurunya tidak meridhainya
maka maka selama hidup guru itu tidak diberi
balasan oleh Alloh agar guru tersebut tidak
menaruh belas kasihan kepdanya. Sesungguhnya
para guru diciptakan sebagai orang-orang yang
mulia. Ketika guru itu telah meninggal, maka
murid tersebut akan memperoleh balasannya.

Senin, 21 Desember 2015

Tarikh kelahiran nabi

Benarkah Tarikh Kelahiran Nabi ( Maulid Nabi )
Pada Tarikh 12 Rabiul Awwal Itu Palsu Dan Tidak
Tepat?
Masyarakat mulai memperkatakan tentang tarikh
sebenar Maulid Nabi dan sesetengahnya berkata
bahawa tarikh 12 Rabiul Awwal yang disambut
oleh majoriti umat Islam itu palsu malah tidak
tepat. Adakah benar kenyataan itu?
Mari kita lihat perbahasan dibawah ini.
Hari Lahir Nabi
Para Ulama' dah ilmuwan bersepakat bahawa
Rasulullah saw dilahirkan pada Hari Isnin
sebagaimana dalam hadis sahih yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Berkenaan Tahun Kelahiran Rasulullah saw pula
telah dijelaskan dalam banyak hadis diantaranya:
ﻭَﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ : ﻭُﻟِﺪَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔِﻴْﻞِ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺰﺍﺭ ﻭﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ
ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﻣﻮﺛﻘﻮﻥ ‏( ﻣﺠﻤﻊ ﺍﻟﺰﻭﺍﺋﺪ ﻭﻣﻨﺒﻊ ﺍﻟﻔﻮﺍﺋﺪ . ﻣﺤﻘﻖ -
ﺝ 1 / ﺹ 242 )
“Ibnu Abbas berkata: Rasulullah dilahirkan di
tahun gajah” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-
Bazzar dan At-Thobroni dan para perawinya
adalah dipercayai.
Dalam riwayat lain juga ditegaskan bahawa Qais
bin Makhzamah memiliki persamaan tahun
kelahiran dengan Rasulullah di tahun Gajah
(Hadis Riwayat Imam Ahmad dan dinilai hasan
oleh Syuaib al-Arnauth)
Tarikh Kelahiran Nabi
Imam Nawawi berkata:
ﻭَﺍﺧْﺘَﻠَﻔُﻮﺍ ﻓِﻲ ﻳَﻮْﻡ ﺍﻟْﻮِﻟَﺎﺩَﺓ ﻫَﻞْ ﻫُﻮَ ﺛَﺎﻧِﻲ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮ ، ﺃَﻡْ ﺛَﺎﻣِﻨﻪ
، ﺃَﻡْ ﻋَﺎﺷِﺮﻩ ، ﺃَﻡْ ﺛَﺎﻧِﻲ ﻋَﺸَﺮﻩ ؟ ‏( ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ
- ﺝ 8 / ﺹ 66 )
“Ulama berbeza pendapat tentang hari
kelahirannya, adakah hari 2 bulan Rabiul Awal, ke
8, ke 10 ataukah ke 12 ? (Syarah Sahih Muslim
8/66)
Dalil-Dalil Yang Kuat Rasulullah saw Lahir Pada
12 Rabiul Awal
- Hadis Riwayat Imam Baihaqi:
ﻋَﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ ﻗَﺎﻝَ : ﻭُﻟِﺪَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟِﺎﺛْﻨَﺘَﻲْ ﻋَﺸْﺮَﺓَ ﻟَﻴْﻠَﺔً ﻣَﻀَﺖْ ﻣِﻦْ ﺷَﻬْﺮِ ﺭَﺑِﻴْﻊِ
ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺒَﻴْﻬَﻘِﻲ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ : ﻭَﺭَﻭَﻳْﻨَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ
ﺛُﻢَّ ﻋَﻦْ ﻗَﻴْﺲِ ﺑْﻦِ ﻣَﺨْﺰَﻣَﺔَ ﺛُﻢَّ ﻋَﻦْ ﻗﺒُﺎَﺙَ ﺑْﻦِ ﺃَﺷِﻴْﻢٍ ﺃَﻥَّ
ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭُﻟِﺪَ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔِﻴْﻞِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺰُّﻫْﺮِﻱ
ﻭَﻣَﻦْ ﺗَﺎﺑَﻌَﻪُ ﻳَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ ﻭُﻟِﺪَ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻭَﺍﻟْﺄَﻭَّﻝُ ﺃَﺻَﺢُّ ‏( ﺷﻌﺐ
ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ - ﺝ 2 / ﺹ 134 )
Muhammad bin Ishaq berkata: “Rasulullah
dilahirkan pada 12 malam bulan Rabiul Awal”. Al-
Baihaqi berkata: “Kami meriwayatkan dari Ibnu
Abbas kemudian dari Qais bin Makhzamah
kemudian dari Qubats bin Asyim bahawa Nabi
dilahirkan pada tahun Gajah. Al-Zuhri dan yang
mengikutinya mengatakan bahawa dilahirkan
sesudah tahun Gajah. Pendapat pertama lebih
sahih (Hadis Riwayat Imam Baihaqi dalam Syuab
al-Iman)
- Riwayat Ibnu Abi Syaibah
ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﺷَﻴْﺒَﺔَ : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﻋَﻦْ ﺳَﻌِﻴْﺪِ ﺑْﻦِ
ﻣَﻴْﻨَﺎﺀَ ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮٍ ﻭَﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻟَﺎ : ﻭُﻟِﺪَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔِﻴْﻞِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺎِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲَ ﻋَﺸَﺮَ ﻣِﻦْ
ﺭَﺑِﻴْﻊِ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺑُﻌِﺚَ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﻋُﺮِﺝَ ﺑِﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻭَﻓِﻴْﻪِ
ﻫَﺎﺟَﺮَ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﻣَﺎﺕَ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻧْﻘِﻄَﺎﻉٌ ﻭَﻗَﺪِ ﺍﺧْﺘَﺎﺭَﻩُ ﺍﻟْﺤَﺎﻓِﻆُ ﻋَﺒْﺪُ
ﺍﻟْﻐَﻨِﻰ ﺑْﻦُ ﺳُﺮُﻭْﺭٍ ﺍﻟْﻤَﻘْﺪِﺳِﻲ ﻓِﻲ ﺳِﻴْﺮَﺗِﻪِ ‏(ﺳﻴﺮﺓ ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ -
ﺝ 2 / ﺹ 93 )
“Jabir dan Ibnu Abbas berkata: “Nabi dilahirkan
pada tahun Gajah, hari Isnin 12 Rabiul Awal. Di
hari Isnin beliau diangkat menjadi Nabi,
melakukan Mi’raj ke langit, berhijrah ke Madinah
dan hari Isnin beliau wafat”
Sanadnya terputus dan dipilih oleh al-Hafiz Abd
al-Ghani bin Surur al-Maqdisi dalam kitab
sejarahnya” (Sirah Ibni Katsir, 2/93). Riwayat ini
juga dapat dilihat dalam al-Bidayah wa Nihayah
Ibnu Katsir.
- Ahli Hadis al-Munawi
( ﺗﻨﺒﻴﻪ ‏) ﺍﻟْﺄَﺻَﺢُّ ﺃَﻧَّﻪُ ﻭُﻟِﺪَ ﺑِﻤَﻜَّﺔَ ﺑِﺎﻟﺸُّﻌَﺐِ ﺑِﻌِﻴْﺪِ ﻓَﺠْﺮِ ﺍﻟْﺎِﺛْﻨَﻴْﻦِ
ﺛَﺎﻧِﻲَ ﻋَﺸَﺮَ ﺭَﺑِﻴْﻊَ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔِﻴْﻞِ ‏(ﻓﻴﺾ ﺍﻟﻘﺪﻳﺮ - ﺝ 3 /
ﺹ 768 )
“Pendapat yang lebih sahih bahawa Nabi
dilahirkan di Kabilah Quraisy pada fajar hari Isnin,
12 Rabiul Awal tahun Gajah” (Faidh al-Qadir
3/768)
- Syaikh Abdullah al-Faqih
ﻭَﺃَﻛْﺜَﺮُ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺴِّﻴَﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻭُﻟِﺪَ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲَ ﻋَﺸَﺮَ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِﻴْﻊِ
ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔِﻴْﻞِ، ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﺤَﺎﺩِﺛَﺔِ ﺑِﺨَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﻳَﻮْﻣﺎً ‏( ﻓﺘﺎﻭﻯ
ﺍﻟﺸﺒﻜﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ - ﺝ 44 / ﺹ 50 )
“Kebanyakan ahli sejarah bahawa Nabi dilahirkan
pada 12 Rabiul Awal, tahun Gajah, setelah 50
hari dari peristiwa tersebut” (Fatawa al-Syabkah
al-Islamiyah, 44/50)
ﻓَﺎﻟْﻤَﺸْﻬُﻮْﺭُ ﻓِﻲ ﻛُﺘُﺐِ ﺍﻟﺴِّﻴْﺮَﺓِ ﺍﻟﻨَّﺒَﻮِﻳَّﺔِ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭُﻟِﺪَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲَ ﻋَﺸَﺮَ ﻣِﻦْ ﺷَﻬْﺮِ ﺭَﺑِﻴْﻊِ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ
ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔِﻴْﻞِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺎِﺛْﻨَﻴْﻦِ ‏( ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﺸﺒﻜﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ - ﺝ
126 / ﺹ 120 )
“Pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab
sejarah kenabian bahawa Nabi dilahirkan pada 12
Rabiul Awal, tahun Gajah” (Fatawa al-Syabkah al-
Islamiyah, 126/120)
Marilah semua umat Islam kita bersama-sama
menyambut Sambutan Maulidur Rasul tanpa
ragu-ragu atau bimbang dengan persoalan-perso
alan yang sudah lama dibahaskan oleh para
Ulama' terdahulu dan semoga kita tergolong
dalam golongan yang mencintai Rasulullah saw.

Sabtu, 19 Desember 2015

Habib hamid bin alwi alkaf

Al Habib Hamid Bin Alwi al-Kaaf - Khalifah Syaikh Yaasin
Di antara ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah bermazhab Syafi`i yang masih hidup dan berbakti menabur ilmu di Kota Suci Makkah al-Mukarramah adalah al-Habib Hamid bin `Alwi bin Salim bin Abu Bakar al-Kaaf al-Husaini asy-Syafi`i al-Makki hafizahullah. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 25 Sya'baan 1345H di Banjarmasin, Kalimantan, Indonesia. Dibesarkan dalam keluarga mulia dan mula menuntut ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau sendiri. Ayahanda wafat di Makkah ketika beliau masih kecil, lalu beliau meneruskan persekolahannya di Banjar sebelum pergi ke Surabaya untuk bersekolah di Madrasah al-Khairiyyah pada tahun 1360H. Di sana beliau belajar selama 3 tahun dan di antara guru beliau adalah Syaikh `Umar Baraja`, Habib Salim bin `Aqil dan lain-lainnya. Setelah 3 tahun di madrasah tersebut, beliau kembali ke Banjarmasin dan meneruskan pengajian di Ma'had Darus Salam ad-Diniyyah di Martapura. Antara guru beliau di sini adalah Syaikh Muhammad Sya'raani bin `Arif, Syaikh Husain Qudri dan Syaikh Abdul Qadir Hasan. Pada tahun 1367 beliau ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji dan untuk menuntut ilmu di sana. Beliau menuntut di Masjidil Haram selama 4 tahun sebelum masuk ke Darul Ulum ad-Diniyyah pada tahun 1371 sehingga selesai pengajian di sana pada tahun 1373H. Setelah tamat pengajian, beliau mula mengajar berbagai ilmu seperti fiqh, usul, hadis, nahu, falak dan ilmu-ilmu alat, sehingga menjadi antara ulama yang mengajar dalam Masjidil Haram selain menjadi guru di Madrasah Ulum ad-Diniyyah, Makkah. Beliau juga pernah dilantik menjadi setiausaha Majlis Syura dan sehingga kini beliau menjadi ahli fatwa (mufti) Kedutaan Indonesia di Arab Saudi. Beliau juga terkenal sebagai seorang ulama yang mahir dalam ilmu-ilmu hadits dan falak sehingga beliau digelar sebagai al-`Allaamah al-Muhaddits al-Falaki.
Antara guru-guru beliau yang lain adalah Syaikh Muhammad Yaasin al-Fadani di mana beliau mempunyai ikatan yang erat dengan Syaikh Muhammad Yaasin sehingga beliaulah yang menjadi khalifah beliau dan kini beliau tetap terus mengajar di halaqah Syaikh Muhammad Yaasin pada setiap malam Rabu di Syari' Sittin. Semoga Allah memberikan umur yang panjang kepada beliau dalam sempurna kesihatan lagi banyak keberkatan

Kamis, 17 Desember 2015

Pengertian bidah

Pengertian Bid’ahBid’ah dalam pengertian bahasa adalah:مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَفِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalammakna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidakpasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.Macam-Macam Bid’ahBid’ah terbagi menjadi dua bagian:Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.Al-Imam asy-Syafi’i berkata :الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatuyang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalanganahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin danlain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.Dalil-Dalil Bid’ah HasanahAl-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa diantara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):1.Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, danberkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.2.Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْالإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguhdengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.3.Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanyabid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.4.Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ5.Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.6.‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalamFath al-Bari dengan sanad yang shahih.7.Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ahdi belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِSetelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).7.al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ahBerikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:1.Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)2.Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada parapenulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkinhal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?!Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!5.Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.6.Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Malikidalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.7.Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.8.Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaanmanusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekalitidak memiliki ikhtiar dan kehendak.C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orangmukmin yang melakukan dosa besar.D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahlihadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ahsayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasaberkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .Jawab:Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinyayang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semuabid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi limamacam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwaangin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata“Kull”.Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.==============================2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.Jawab:Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.==============================3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklumkeutamaannya dalam agama”.Jawab:Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!===============================4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.Jawab:Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَبِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batildan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuatpemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuahperkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggapdirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.===============================5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.Jawab:Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwaia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’anyang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.===============================6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.Jawab:Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kitajawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.KesimpulanDari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua namamereka kita kutip di sini.Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.

ketika para ulama melakukan Bidah

Ketika Ahli Hadis Melakukan Bid’ah….Ketika Ahli Hadis Melakukan Bid’ah….Bid’ah saat ini menjadi sebuah bahasa yang menyeramkan karena sebagian kelompok menilainya sebagai kesesatan, seluruhnya tanpa terkecuali. Bagi mereka, setiap amalan dalam agama yang tidak dilakukan oleh Nabi, atau menentukan waktu ibadah dengan cara-cara tertentu adalah bid’ah yang sesat dan pelakunya akan masuk neraka.Namun pernahkah terlintas dalam pikiran bahwa para ahli hadis yang meriwayatkan hadis tentang bid’ah, ternyata juga melakukan bid’ah. Apakah ahli hadis itu melakukan bid’ahnya tanpa sadar? Tidak tahukah kalau semua bid’ah adalah sesat? Kalaulahmereka mengaku bahwa semua bid’ah sesat, sementara para ahli hadis melakukan perbuatan bid’ah, seperti Imam Bukhari yang salat saat setiap menulis hadisnya di dalam kitab Sahih (padahal tidak ada perintah dari Nabi dan Imam Bukhari menentukan sendiri tidak berdasarkan tuntunan Syar’i), lalu mengapa sampai saat ini mereka seringmemakai hadis-hadis riwayat Imam Bukhari? riwayat Imam Ahmad, Imam Malik dan sebagainya?Jika para ahli hadis banyak yang melakukan bid’ah, berarti ada kesalahan dalam memahami semua bid’ah sesat. Sebab diakui atau tidak, para ahli hadis lebih mengetahui makna bid’ah yang mereka riwayatkan dalam hadis-hadisnya, bahwa ‘Tidak semua bid’ah sesat’.Contohnya adalah beberapa penentuan waktu salat yang dilakukan oleh ulama Ahli Hadis, mulai yang melakukan ratusan rakaat dalam sehari, hingga yang salat sampai ribuan rakaat dalam tiap harinya:1.Imam al-Bukhari (15126 rakaat)وقال الفربري قال لي البخاري: ما وضعت في كتابي الصحيح حديثاً إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين)طبقات الحفاظ - ج 1 / ص 48وسير أعلام النبلاء 12 / 402 وطبقات الحنابلة 1 / 274، وتاريخ بغداد 2 / 9، وتهذيب الاسماء واللغات 1 / 74 ووفيات الاعيان 4 / 190، وتهذيب الكمال 1169، وطبقات السبكي 2 / 220، ومقدمة الفتح 490 وتهذيب التهذيب 9 / 42(“al-Farbari berkata bahwa al-Bukhari berkata: Saya tidak meletakkan 1 hadis pun dalam kitab Sahih saya, kecuali saya mandi terlebih dahulu dan saya salat 2 rakaat”(Diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, diantaranya dalam Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi,1/48, Siyar A’lam an-Nubala’, al-Hafidz adz-Dzahabi 12/402, Thabaqat al-Hanabilah, 1/274, Tarikh Baghdad 2/9, Tahdzib al-Asma, Imam an-Nawawi, 1/74, Wafayat al-A’yan 4/190, Tahdzib al-Kamal, al-Hafidz al-Mizzi 1169, Thabaqat as-Subki 2/220, dan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Muqaddimah al-Fath 490 dan at-Tahdzib 9/42)Sedangkan hadis yang tertera dalam Sahih al-Bukhari berjumlah7563hadis. Maka salat yang beliau lakukan juga sesuai jumlah hadis tersebut atau 15126 (lima belas ribu seratus dua puluh enam) rakaat.وروينا عن عبد القدوس بن همام، قال: سمعت عدة من المشايخ يقولون: حول البخارى تراجم جامعه بين قبر النبى - صلى الله عليه وسلم - ومنبره، وكان يصلى لكل ترجمة ركعتين)تهذيب الأسماء - )1 / 101(“Kami meriwayatkan dari Abdul Quddus bin Hammam, bahwa ia mendengar dari para guru yang berkata seputar al-Bukhari ketika menulis bab-bab salam kitab Sahihnya diantara makam Nabi dan mimbarnya, dan al-Bukhari salat 2 rakaat dalam tiap-tiap bab” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi,1/101)1.Imam Malik bin Anas (800 rakaat)حدثنا أبو مصعب و أحمد بن إسماعيل قالا مكث مالك بن أنس ستين سنة يصوم يوماً ويفطر يوماً وكان يصلي في كل يومثمانمائة ركعة)طبقات الحنابلة 1 / 61(“Abu Mush’ab dan Ahmad bin Ismail berkata: Malik bin Anas berpuasa sehari dan berbuka sehari selama 60 tahun dan ia salat setiap hari 800 rakaat”(Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/61)1.Imam Ahmad Bin Hanbal (300 rakaat)-قال ابو يحي وسمعت بدر بن مجاهد يقول سمعت أحمد بن الليث يقول سمعت أحمد بن حنبل يقول إنى لأدعو الله للشافعى فى صلاتى منذ أربعين سنة يقول اللهم اغفر لى ولوالدى ولمحمد بن إدريس الشافعى)طبقات الشافعية الكبرى للسبكي ج 3 / ص 194ومناقب الشافعي للبيهقي 2-254(“Sungguh saya berdoa kepada Allah untuk Syafii dalam salat saya sejak 40 tahun. Doanya: Ya Allah ampuni saya, kedua orang tua saya dan Muhammad bin Idris asy-Sfafii” (Thabaqat al-Syafiiyah al-Kubra, as-Subki, 3/194 dan Manaqib asy-Syafii, al-Baihaqi, 2/254)-قال عبد الله بن أحمد: كان أبي يصلي فيكل يوم وليلة ثلاث مئة ركعة. فلما مرض من تلك الأسواط أضعفته، فكان يصلي فيكل يوم وليلة مئة وخمسين ركعة، وقد كان قرب من الثمانين)مختصر تاريخ دمشق لابن رجب الحنبلي ج 1 / ص 399(“Abdullah bin Ahmad berkata: Bapak saya (Ahmad bin Hanbal) melakukan salat dalam sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Ketika beliau sakit liver, maka kondisinya melemah, beliau salat dalamsehari semalam sebanyak 150 rakaat, dan usianya mendekati 80 tahun” (Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/399)جعفر بن محمد بن معبد المؤدب قال: رأيت أحمد بن حنبل يصلي بعد الجمعة ست ركعات ويفصل في كل ركعتين)طبقات الحنابلة 1 / 123(“Jakfar bin Muhammad bin Ma’bad berkata: Saya melihat Ahmad bin Hanbal salat 6 rakaat setelah Jumat, masing-masing 2 rakaat” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/123)4.Imam Basyar bin Mufadlal (400 rakaat)بشر بن المفضل بن لاحق البصري الرقاشي أبو إسماعيل.قال أحمد: إليه المنتهىفي التثبت بالبصرة وكان يصلى كل يوم أربعمائة ركعة ويصوم يوماً ويفطر يوماً وكان ثقة كثير الحديث مات سنة ست وثمانين ومائة)طبقات الحفاظ 1 / 24(“Imam Ahmad berkata tentang Basyar bin Mufadzal al-Raqqasyi: Kepadanyalah puncak kesahihan di Bashrah. Ia salat setiap hari sebanyak 400 rakaat, ia puasa sehari dan berbuka sehari. Ia terpercaya dan memiliki banyak hadis, wafat 180 H” (Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi,1/24)1.Cucu Sayidina Ali (1000 rakaat)ذو الثفنات علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب زين العابدين سمي بذلك لأنه كان يصلى كل يوم ألف ركعة فصار في ركبتيه مثل ثفنات البعير )تهذيب الكمال - 35 / 41(“Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, hiasan ahli ibadah, disebut demikian karena ia salat dalam sehari sebanyak 1000 rakaat, sehingga di lututnya terdapat benjolan seperti unta” (Tahdzib al-Asma’, al-Hafidz al-Mizzi, 35/41)وقال مالك بلغني أنه )علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب( كان يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة إلى أن مات)تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 60(“Malik berkata: Telah sampai kepada saya bahwa Ali bin Husain salat dalam sehari semalam 1000 rakaat sampai wafat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/60)1.Maimun bin Mahran (17000 rakaat)ويروى ان ميمون بن مهران صلى في سبعة عشر يوما سبعة عشر الف ركعة)تذكرة الحفاظ 1 / 99(“Diriwayatkan bahwa Maimun bin Mahran salat dalam 17 hari sebanyak 17000 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/99)1.Basyar bin Manshur (500 rakaat)قال ابن مهدى ما رأيت أحدا أخوف لله منه وكان يصلي كل يوم خمسمائة ركعة وكان ورده ثلث القرآن)تهذيب التهذيب 1 / 403(“Ibnu Mahdi berkata: Saya tidak melihat seseorang yang paling takut kepada Allah selain Basyar bin Manshur. Ia salat dalam sehari 500 rakaat, wiridannya adalah 1/3 al-Quran” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 1/403)1.al-Harits bin Yazid (600 rakaat)الحارث بن يزيد قال احمد ثقة من الثقات وقال العجلي والنسائي ثقة وقال الليث كان يصلي كل يوم ستمائة ركعة)تهذيب التهذيب 2 / 142(“Ahmad berkata: Terpercaya diantara orang-orang terpercaya. Laits berkata: al-Harits salat dalam sehari 600 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/142)1.Ibnu Qudamah (100 rakaat)ولا يسمع ذكر صلاة إلا صلاها، ولا يسمع حديثاً إلا عمل به. وكان يصلَّي بالناس فينصف شعبان مائة ركعة، وهو شيخ كبير)ذيل طبقات الحنابلة ابن رجب 1 / 203(“Ibnu Qudamah tidak mendengar tentang salat kecuali ia lakukan. Ia tidak mendengar 1 hadis kecuali ia amalkan. Ia salat bersama dengan orang lain di malam Nishfu Sya’ban 100 rakaat, padahal iasudah tua” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/203)وكان يصلِّي بين المغرب والعشاء أربع ركعات، يقرأ فيهن السَّجدة، ويس، وتبارك والدخان. ويصلَّي كل ليلة جمعة بين العشاءين صلاة التسبيح ويطيلها، ويصلَّي يوم الجمعة ركعتين بمائة " قل هو الله أحد" الإخلاص، وكان يصلي في كل يوم وليلة اثنتين وسبعين ركعة نافلة، وله أوراد كثيرة. وكارْ يزور القبور كل جمعة بعد العصر)ذيل طبقات الحنابلة - 1 / 204(“Ibnu Qudamah salat antara Maghrib dan Isya’ sebanyak 4 rakaat, dengan membaca surat Sajdah, Yasin Tabaraka dan ad-Dukhan. Beliau salat Tasbihsetiap malam Jumat antara Maghrib dan Isya’ dan memanjangkannya. Di hari Jumat ia salat 2 rakaat dengan membaca al-Ikhlas 100 kali. ia salat sunah sehari semalam sebanyak 72 rakaat. ia memiliki banyak wiridan. Ia melakukan ziarah kubur setiap Jumat setelah Ashar” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah,Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/204)1.Umair bin Hani’ (1000 sujud)كان عمير بن هانئ يصلي كل يوم الف سجدة ويسبح مائة الف تسبيحة)تهذيب التهذيب 8 / 134(“Umair bin Hani’ salat dalam sehari sebanyak 1000 sujud dan membaca tasbih sebanyak 100.000” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 8/134)1.Murrah bin Syarahil (600 rakaat)قلت: هو قول ابن حبان في الثقات زاد وكان يصلي كل يوم ستمائة ركعة وقال العجلي تابعي ثقة وكان يصلي في اليوم والليلة خمسمائة ركعة)تهذيب التهذيب 10 / 80(“Ibnu Hibban menambahkan bahwa Marrah bin Syarahil salat dalam sehari 600 rakaat. al-Ajali berkata, ia tabii yang tsiqah, ia salat dalam sehari 500 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 10/80)1.Abdul Ghani (300)وسمعت يوسف بن خليل بحلب يقول عن عبد الغني: كان ثقة، ثبتاً، ديناً مأموناً، حسن التصنيف، دائم الصيام، كثير الإيثار. كان يصلي كل يوم وليلة ثلاثمائة ركعة)ذيل طبقات الحنابلة 1 / 185(“Abdul Ghani, ia terpercaya, kokoh, agamis yang dipercaya, banyak karangannya, selalu puasa, selalu mendahulukan ibadah. Ia salat dalam sehari semalam 300 rakaat” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah,Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/185)13.Abu Ishaq asy-Syairazi (Tiap bab dalam kitab)وقال أبو بكر بن الخاضبة سمعت بعض أصحاب أبي إسحاق ببغداد يقول كان الشيخيصلي ركعتين عند فراغ كل فصل من المهذب)طبقات الشافعية الكبرى 4 / 217(“Abu Bakar abin Khadhibah berkata: Saya mendengar dari sebagian santri Abu Ishaq di Baghdad bahwa Syaikh (Abu Ishaq) salat 2 rakaat setiap selesai menulis setiap Fasal dalam Muhadzab” (Thabaqat asy-Syafiiyat al-Kubra, as-Subki, 4/217)1.Qadli Abu Yusuf (200 rakaat)وقال ابن سماعة كان أبو يوسف يصلي بعد ما ولي القضاء في كل يوم مائتي ركعة)تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 214(“Ibnu Sama’ah berkata: Setelah Abu Yusuf menjadi Qadli, ia salat dalam sehari sebanyak 200 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 1/214)1.Ali bin Abdillah (1000 rakaat)وقال أبو سنان: كان على بن عبد الله يصلى كل يوم ألف ركعة)تهذيب الأسماء 1 / 492(“Abu Sanan berkata: Ali bin Abdillah salat dalam sehari 1000 rakaat” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/492)1.al-Hafidz ar-Raqqasyi (400 rakaat)الرقاشي الإمام الثبت الحافظ أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن محمد بن عبد الملك البصري:أبو حاتم وقال: ثقة رضا وقال العجلي: ثقة من عباد الله الصالحين وقال يعقوب السدوسي: ثقة ثبت قال العجلي: يقال: إنه كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة)تذكرة الحفاظ للذهبي – 2 / 37(“ar-Raqqasyi, terpercaya, ia salat dalam sehari semalam 400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/73)1.Abu Qilabah (400 rakaat)وقال أحمد بن كامل القاضي: حكي أن أبا قلابة كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة )تذكرة الحفاظ للذهبي 2 / 120(“Qadli Ahmad bin Kamil berkata: Diceritakan bahwaAbu Qilabah salat dalam sehari semalam sebanyak400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/120)1.Cucu Abdullah bin Zubair (1000 rakaat)مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير وكان مصعب يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة ويصوم الدهر)صفة الصفوة 2 / 197-والإصابة في تمييز الصحابة 2 / 326(“Mush’ab bin Tsabit bin Abdillah bin Zubair, ia salat dala sehari semalam 1000 rakaat” (Shifat ash-Shafwah, Ibnu Jauzi, 2/197 dan al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/326)1.Malik Bin Dinar (1000 rakaat)وروى بن أبي الدنيا من طرق انه كان فرض على نفسه كل يوم ألف ركعة)الإصابة في تمييز الصحابة 5 / 77(“Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari beberapa jalur bahwa Malik bin Dinar mewajibkan pada dirinya sendiri untuk salat 1000 rakaat dalam setiap hari” (al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 5/77)1.Bilal Bin Sa’d (1000 rakaat)وقال الاوزاعي كان بلال بن سعد من العبادة على شئ لم يسمع باحد من الامة قوى عليه كان له في كل يوم وليلة الف ركعة)تهذيب التهذيب 1 / 441(“Auzai berkata: dalam masalah ibadah tidak didengar 1 orang yang lebih kuat daripada Bilal bin Sa’d, ia salat 1000 rakaat setiap hari” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/441)