Telah diceritakan oleh Ibnu al-
Mubarak tentang seorang laki-laki
yang bernama Khalid bin Ma’dan,
dimana ia pernah bertanya kepada
Mu’adz bin Jabal ra., salah seorang
sahabat Nabi Muhammad saw.
“Wahai Mu’adz! Ceritakanlah
kepadaku suatu hadits yang telah
engkau dengar langsung dari
Rasulullah saw., suatu hadits yang
engkau hafal dan selalu engkau
ingat setiap harinya disebabkan oleh
sangat kerasnya hadits tersebut,
sangat halus dan mendalamnya
hadits tersebut. Hadits yang
manakah yang menurut engkau yang
paling penting?”
Kemudian, Khalid bin Ma’dan
menggambarkan keadaan Mu’adz
sesaat setelah ia mendengar
permintaan tersebut, “Mu’adz tiba-
tiba saja menangis sedemikian rupa
sehingga aku menduga bahwa beliau
tidak akan pernah berhenti dari
menangisnya. Kemudian, setelah
beliau berhenti dari menangis,
berkatalah Mu’adz: Baiklah aku akan
menceritakannya, aduh betapa
rinduku kepada Rasulullah, ingin
rasanya aku segera bersua dengan
beliau”
Selanjutnya Mu’adz bin Jabal ra.
mengisahkan sebagai berikut, “Ketika
aku mendatangi Rasulullah saw.,
beliau sedang menunggangi unta
dan beliau menyuruhku untuk naik
di belakang beliau. Maka
berangkatlah aku bersama beliau
dengan mengendarai unta tersebut.
Sesaat kemudian beliau
menengadahkan wajahnya ke langit,
kemudian bersabdalah Rasulullah
saw.:”
“Alhamdulillah, segala puji hanya
bagi Allah yang memberikan
ketentuan (qadha) atas segenap
makhluk-Nya menurut kehendak-Nya,
ya Mu’adz!”. Aku menjawab, “Labbaik
yaa Sayyidal Mursaliin”.
“Wahai Mu’adz! Sekarang akan aku
beritakan kepadamu suatu hadits
yang jika engkau mengingat dan
tetap menjaganya maka (hadits) ini
akan memberi manfaat kepadamu di
hadhirat Allah, dan jika engkau
melalaikan dan tidak menjaga
(hadits) ini maka kelak di Hari
Qiyamah hujjahmu akan terputus di
hadhirat Allah Ta’ala!”
“Wahai Mu’adz! Sesungguhnya Allah
Tabaraka wa Ta’ala telah
menciptakan tujuh Malaikat sebelum
Dia menciptakan tujuh lelangit dan
bumi. Pada setiap langit tersebut
ada satu Malaikat yang menjaga
khazanah, dan setiap pintu dari
pintu-pintu lelangit tersebut dijaga
oleh seorang Malaikat penjaga,
sesuai dengan kadar dan keagungan
(jalaalah) pintu tersebut.
Maka naiklah al-Hafadzah (malaikat-
malaikat penjaga insan) dengan
membawa amal perbuatan seorang
hamba yang telah ia lakukan
semenjak subuh hari hingga petang
hari. Amal perbuatan tersebut
tampak bersinar dan menyala-nyala
bagaikan sinar matahari, sehingga
ketika al-Hafadzah membawa naik
amal perbuatan tersebut hingga ke
Langit Dunia mereka melipat
gandakan dan mensucikan amal
tersebut. Dan ketika mereka sampai
di pintu Langit Pertama, berkatalah
Malaikat penjaga pintu kepada al-
Hafadzah: “Pukulkanlah amal
perbuatan ini ke wajah pemiliknya!
Akulah ‘Shaahibul Ghiibah’, yang
mengawasi perbuatan ghiibah
(menggunjing orang), aku telah
diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak
membiarkan amal ini melewatiku
untuk menuju ke langit yang
berikutnya!”
Kemudian naiklah pula al-Hafadzah
yang lain dengan membawa amal
shalih diantara amal-amal
perbuatan seorang hamba. Amal
shalih itu bersinar sehingga mereka
melipat-gandakan dan
mensucikannya. Sehingga ketika
amal tersebut sampai di pintu
Langit Kedua, berkatalah Malaikat
penjaga pintu kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah
amal perbuatan ini ke wajah
pemiliknya, karena ia dengan
amalannya ini hanyalah
menghendaki kemanfaatan duniawi
belaka! Akulah ‘Malakal Fakhr’,
malaikat pengawas kemegahan, aku
telah diperintah Rabb-ku untuk
tidak membiarkan amal perbuatan
ini melewatiku menuju ke langit
berikutnya, sesungguhnya orang
tersebut senantiasa memegahkan
dirinya terhadap manusia sesamanya
di lingkungan mereka!”. Maka
seluruh malaikat mela’nat orang
tersebut hingga petang hari.
Dan naiklah al-Hafadzah dengan
membawa amal seorang hamba yang
lain. Amal tersebut demikian
memuaskan dan memancarkan
cahaya yang jernih, berupa amal-
amal shadaqah, shalat, shaum, dan
berbagai amal bakti (al-birr) yang
lainnya. Kecemerlangan amal
tersebut telah membuat al-Hafadzah
takjub melihatnya, mereka pun
melipat-gandakan amal tersebut dan
mensucikannya, mereka diizinkan
untuk membawanya. Hingga
sampailah mereka di pintu Langit
Ketiga, maka berkatalah Malaikat
penjaga pintu kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah
amal ini ke wajah pemiliknya! Akulah
‘Shaahibil Kibr’, malaikat pengawas
kesombongan, aku telah diperintah
oleh Rabb-ku untuk tidak
membiarkan amal perbuatan seperti
ini lewat dihadapanku menuju ke
langit berikutnya! Sesungguhnya
pemilik amal ini telah berbuat
takabbur di hadapan manusia di
lingkungan (majelis) mereka!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah yang
lainnya dengan membawa amal
seorang hamba yang sedemikian
cemerlang dan terang benderang
bagaikan bintang-bintang yang
gemerlapan, bagaikan kaukab yang
diterpa cahaya. Kegemerlapan amal
tersebut berasal dari tasbih, shalat,
shaum, haji dan umrah. Diangkatlah
amalan tersebut hingga ke pintu
Langit Keempat, dan berkatalah
Malaikat penjaga pintu langit
kepada al-Hafadzah: “Berhentilah
kalian! Pukulkanlah amal ini ke
wajah, punggung, dan perut dari si
pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ujbi’,
malaikat pengawas ‘ujub (mentakjubi
diri sendiri), aku telah diperintah
oleh Rabb-ku untuk tidak
membiarkan amalan seperti ini
melewatiku menuju ke langit
berikutnya! Sesungguhnya si pemilik
amal ini jika mengerjakan suatu
amal perbuatan maka terdapat ‘ujub
(takjub diri) didalamnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah
dengan membawa amal seorang
hamba hingga mencapai ke Langit
Kelima, amalan tersebut bagaikan
pengantin putri yang sedang diiring
diboyong menuju ke suaminya.
Begitu sampai ke pintu Langit
Kelima, amalan yang demikian baik
berupa jihad, haji dan umrah yang
cahayanya menyala-nyala bagaikan
sinar matahari. Maka berkatalah
malaikat penjaga pintu kepada al-
Hafadzah: “Berhentilah kalian!
Pukulkanlah amal perbuatan ini ke
wajah pemiliknya dan pikulkanlah
pada pundaknya! Akulah ‘Shaahibul
Hasad’, malaikat pengawas hasad
(dengki), sesungguhnya pemilik amal
ini senantiasa menaruh rasa dengki
(hasad) dan iri hati terhadap sesama
yang sedang menuntut ilmu, dan
terhadap sesama yang sedang
beramal yang serupa dengan
amalannya, dan ia pun juga
senantiasa hasad kepada siapapun
yang berhasil meraih fadhilah-
fadhilah tertentu dari suatu ibadah
dengan berusaha mencari-cari
kesalahannya! Aku telah diperintah
oleh Rabb-ku untuk tidak
membiarkan amalan seperti ini
melewatiku untuk menuju ke langit
berikutnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah
dengan membawa amal perbuatan
seorang hamba yang memancarkan
cahaya yang terang benderang
seperti cahaya matahari, yang
berasal dari amalan
menyempurnakan wudhu, shalat
yang banyak, zakat, haji, umrah,
jihad, dan shaum. Amal perbuatan
ini mereka angkat hingga mencapai
pintu Langit Keenam. Maka
berkatalah malaikat penjaga pintu
ini kepada al-Hafadzah: “Berhentilah
kalian! Pukulkanlah amal perbuatan
ini ke wajah pemiliknya,
sesungguhnya sedikitpun ia tidak
berbelas kasih kepada hamba-
hamba Allah yang sedang ditimpa
musibah (balaa’) atau ditimpa sakit,
bahkan ia merasa senang dengan
hal tersebut! Akulah ‘Shaahibur-
Rahmah’, malaikat pengawas sifat
rahmah (kasih sayang), aku telah
diperintahkan Rabb-ku untuk tidak
membiarkan amal perbuatan seperti
ini melewatiku menuju ke langit
berikutnya!”
Dan naiklah al-Hafadzah dengan
membawa amal perbuatan seorang
hamba yang lain, amal-amal berupa
shaum, shalat, nafaqah, jihad, dan
wara’ (memelihara diri dari perkara-
perkara yang haram dan subhat/
meragukan). Amalan tersebut
mendengung seperti dengungan
suara lebah, dan bersinar seperti
sinar matahari. Dengan diiringi oleh
tiga ribu malaikat, diangkatlah
amalan tersebut hingga mencapai
pintu Langit Ketujuh. Maka
berkatalah malaikat penjaga pintu
kepada al-Hafadzah: “Berhentilah
kalian! Pukulkanlah amalan ini ke
wajah pemiliknya, pukullah anggota
badannya dan siksalah hatinya
dengan amal perbuatannya ini!
Akulah ‘Shaahibudz-Dzikr’, malaikat
pengawas perbuatan mencari nama-
diri (ingin disebut-sebut namanya),
yakni sum’ah (ingin termashur).
Akulah yang akan menghijab dari
Rabb-ku segala amal perbuatan yang
dikerjakan tidak demi mengharap
Wajah Rabb-ku! Sesungguhnya orang
itu dengan amal perbuatannya ini
lebih mengharapkan yang selain
Allah Ta’ala, ia dengan amalannya
ini lebih mengharapkan ketinggian
posisi (status) di kalangan para
fuqaha (para ahli), lebih
mengharapkan penyebutan-
penyebutan (pujian-pujian) di
kalangan para ulama, dan lebih
mengharapkan nama baik di
masyarakat umum! Aku telah
diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak
membiarkan amalan seperti ini lewat
dihadapanku! Setiap amal perbuatan
yang tidak dilakukan dengan ikhlash
karena Allah Ta’ala adalah suatu
perbuatan riya’, dan Allah tidak akan
menerima segala amal perbuatan
orang yang riya’!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah
dengan membawa amal perbuatan
seorang hamba berupa shalat, zakat,
shaum, haji, umrah, berakhlak baik,
diam, dan dzikrullah Ta’ala. Seluruh
malaikat langit yang tujuh
mengumandang-kumandangkan
pujian atas amal perbuatan
tersebut, dan diangkatlah amalan
tersebut dengan melampaui seluruh
hijab menuju ke hadhirat Allah
Ta’ala. Hingga sampailah dihadhirat-
Nya, dan para malaikat memberi
kesaksian kepada-Nya bahwa ini
merupakan amal shalih yang
dikerjakan secara ikhlash karena
Allah Ta’ala.
Maka berkatalah Allah Ta’ala kepada
al-Hafadzah, “Kalian adalah para
penjaga atas segala amal perbuatan
hamba-Ku, sedangkan Aku adalah Ar-
Raqiib, Yang Maha Mengawasi atas
segenap lapisan hati sanubarinya!
Sesungguhnya ia dengan amalannya
ini tidaklah menginginkan Aku dan
tidaklah mengikhlashkannya untuk-
Ku! Amal perbuatan ini ia kerjakan
semata-mata demi mengharap
sesuatu yang selain Aku! Aku yang
lebih mengetahui ihwal apa yang
diharapkan dengan amalannya ini!
Maka baginya laknat-Ku, karena ini
telah menipu orang lain dan telah
menipu kalian, tapi tidakklah ini
dapat menipu Aku! Akulah Yang
Maha Mengetahui perkara-perkara
yang ghaib, Maha Melihat segala apa
yang ada di dalam hati, tidak akan
samar bagi-Ku setiap apa pun yang
tersamar, tidak akan tersembunyi
bagi-Ku setiap apa pun yang
bersembunyi! Pengetahuan-Ku atas
segala apa yang akan terjadi adalah
sama dengan Pengetahuan-Ku atas
segala yang baqa (kekal),
Pengetahuan-Ku tentang yang awal
adalah sama dengan Pengetahuan-
Ku tentang yang akhir! Aku lebih
mengetahui perkara-perkara yang
rahasia dan lebih halus, maka
bagaimana Aku dapat tertipu oleh
hamba-Ku dengan ilmunya? Bisa saja
ia menipu segenap makhluk-Ku yang
tidak mengetahui, tetapi Aku Maha
Mengetahui Yang Ghaib, maka
baginya laknat-Ku!”
Maka berkatalah malaikat yang tujuh
dan 3000 malaikat yang mengiringi,
“Yaa Rabbana, tetaplah laknat-Mu
baginya dan laknat kami semua
atasnya!”, maka langit yang tujuh
beserta seluruh penghuninya
menjatuhkan la’nat kepadanya.
Setelah mendengar semua itu dari
lisan Rasulullah saw. maka
menagislah Mu’adz dengan terisak-
isak, dan berkata, “Wahai Rasulullah!
Engkau adalah utusan Allah
sedangkan aku hanyalah seorang
Mu’adz, bagaimana aku dapat
selamat dan terhindar dari apa yang
telah engkau sampaikan ini?”
Berkatalah Rasulullah saw., “Wahai
Mu’adz! Ikutilah Nabi-mu ini dalam
soal keyakinan sekalipun dalam amal
perbuatanmu terdapat kekurangan.
Wahai Mu’adz! Jagalah lisanmu dari
kebinasaan dengan meng-ghiibah
manusia dan meng-ghiibah saudara-
saudaramu para pemikul Al-Qur’aan.
Tahanlah dirimu dari keinginan
menjatuhkan manusia dengan apa-
apa yang kamu ketahui ihwal aibnya!
Janganlah engkau mensucikan
dirimu dengan jalan menjelek-
jelekan saudara-saudaramu!
Janganlah engkau meninggikan
dirimu dengan cara merendahkan
saudara-saudaramu! Pikullah sendiri
aib-aibmu dan jangan engkau
bebankan kepada orang lain”
“Wahai Mu’adz! Janganlah engkau
masuk kedalam perkara duniamu
dengan mengorbankan urusan
akhiratmu! Janganlah berbuat riya’
dengan amal-amalmu agar diketahui
oleh orang lain dan janganlah
engkau bersikap takabbur di
majelismu sehingga manusia takut
dengan sikap burukmu!”
“Janganlah engkau berbisik-bisik
dengan seseorang sementara di
hadapanmu ada orang lain!
Janganlah engkau mengagung-
agungkan dirimu dihadapan
manusia, karena akibatnya engkau
akan terputus dari kebaikan dunia
dan akhirat! Janganlah engkau
berkata kasar di majelismu dan
janganlah engkau merobek-robek
manusia dengan lisanmu, sebab
akibatnya di Hari Qiyamah kelak
tubuhmu akan dirobek-robek oleh
anjing-anjing neraka Jahannam!”
“Wahai Mu’adz! Apakah engkau
memahami makna Firman Allah
Ta’ala: ‘Wa naasyithaati
nasythan!’ (‘Demi yang mencabut/
menguraikan dengan sehalus-
halusnya!’, An-Naazi’aat [79]:2)? Aku
berkata, “Demi bapakku, engkau, dan
ibuku! Apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. bersabda, “Anjing-
anjing di dalam Neraka yang
mengunyah-ngunyah daging
manusia hingga terlepas dari
tulangnya!”
Aku berkata, “Demi bapakku, engkau,
dan ibuku! Ya Rasulullah, siapakah
manusia yang bisa memenuhi
seruanmu ini sehingga terhindar
dari kebinasaan?”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai
Mu’adz, sesungguhnya hal demikian
itu sangat mudah bagi siapa saja
yang diberi kemudahan oleh Allah
Ta’ala! Dan untuk memenuhi hal
tersebut, maka cukuplah engkau
senantiasa berharap agar orang lain
dapat meraih sesuatu yang engkau
sendiri mendambakan untuk dapat
meraihnya bagi dirimu, dan
membenci orang lain ditimpa oleh
sesuatu sebagaimana engkau benci
jika hal itu menimpa dirimu sendiri!
Maka dengan ini wahai Mu’adz
engkau akan selamat, dan pasti
dirimu akan terhindar!”
Khalid bin Ma’dan berkata,
“Sayyidina Mu’adz bin Jabal ra.
sangat sering membaca hadits ini
sebagaimana seringnya beliau
membaca Al-Qur’aan, dan sering
mempelajari hadits ini sebagaimana
seringnya beliau mempelajari Al-
Qur’aan di dalam majelisnya”.
Selasa, 05 Desember 2017
HADITS UNTUK MUADZ BIN JABAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar