Segala puji bagi Alloh, shalawat
dan salam semoga terlimpah
kepada Rasululoh beserta
keluarga dan para shahabatnya.
Bila menghormati para ulama
diperintahkan, maka sebaliknya
menghina dan merendahkan
mereka dilarang. Al-Ghazali
menyatakan bahwa menghina
berarti merendahkan,
menonjolkan aib dan
kekurangan sehingga
mengundang bahan tertawaan,
bisa dengan menirukan
perkataan, perbuatan, isyarat
dan tanda.
Astaghfirullah, Ya Allah, sungguh
betapa mengerikan jika ada
seorang muslim berani menghina
Ulama Shalafus Shalih, ingin tahu
bahayanya ?
1. Menghina ulama akan
menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam Ath-Thahawi –
rahimahullah- :
“Ulama salaf
dari kalangan
ulama terdahulu,
demikian pula
para tabi’in, harus
disebut dengan
kebaikan. Maka
siapa yang
menyebut mereka
dengan selain
kebaikan maka
dia berada di atas
kesesatan”
Berkata Al-Imam Ibnul Mubarak
–rahimahullah- :
“Siapa yang
melecehkan
ulama, akan
hilang akhiratnya.
Siapa yang
melecehkan
umara’ (pemerinta
h), akan hilang
dunianya. Siapa
yang melecehkan
teman-temannya,
akan hilang
kehormatannya”
Dan mencela ulama termasuk
diantara dosa-dosa besar.
2. Orang yang menghina ulama
sama artinya dia
mengumumkan perang kepada
Allah.
Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam hadits tentang wali Alloh
yang diriwayatkan Al-Imam Al-
Bukhari -rahimahullah- dari Abu
Hurairah –radhiyallohu ‘anhu- :
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻗَﺎﻝَ :
ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
: ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ : َﻝﺎَﻗ ﻣَﻦْ ﻋَﺎﺩَﻯ ﻟِﻲ
ﻭَﻟِﻴًّﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺁﺫَﻧْﺘُﻪُ ﺑِﺎﻟْﺤَﺮْﺏِ – …ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
Dari Abu Hurairah”Sesungguhnya
Allah ta’ala telah berfirman :
‘Barang siapa memusuhi wali-Ku,
maka sesungguhnya Aku
menyatakan perang terhadapnya…
[HR. Al Bukhari]
Dan para ulama, mereka adalah
termasuk wali-wali Allah.
3. Orang yang menghina ulama
sengaja mencampakkan
dirinya untuk terkena do’a
dari seorang alim yang
terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah
seorang Shahabat yang bernama
Sa’ad bin Abi Waqqash –
radhiyallohu ‘anhu- dan beliau
termasuk salah seorang dari 10
Shahabat yang dijamin dengan
Surga.
4. Orang yang mencibir para
ulama maka ia akan
dijerumuskan kepada apa yang
ia tuduhkan kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i –
rahimahullah- :
“Aku mendapati dalam jiwaku
keinginan untuk membicarakan
aib seseorang; akan tetapi yang
mencegahku dari
membicarakannya adalah aku
khawatir jika aib orang itu
ternyata menimpa diriku”
5. Orang yang merasa lezat
dengan meng-ghibah para
ulama maka ia akan diberikan
su-ul khatimah (akhir
kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia
meninggal dunia lisannya
berubah menjadi hitam, hal ini
dikarenakan dia suka mencibir
Al-Imam An-Nawawi
6. Daging para ulama itu
beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal
–rahimahullah- :
“Daging para ulama itu beracun.
Siapa yang menciumnya maka ia
akan sakit. Siapa yang
memakannya maka ia akan mati.”
7. Mencela ulama merupakan
sebab terbesar bagi seseorang
untuk terhalangi dari dapat
mengambil faidah dari ilmu
para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri
–rahimahullah- :
“Dunia itu seluruhnya gelap,
kecuali majelis-majelisnya para
ulama.”
8. Dengan dicelanya ulama
akan mengakibatkan ulama
dijauhkan dari medan dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari
kalangan harokah (orang-orang
pergerakan), mereka
memisahkan antara ulama
dengan da’i. Mereka menyangka
–dengan persangkaan mereka
yang bathil- bahwa ulama itu
hanya bisa duduk di kursi dan
menyampaikan ilmu, akan tetapi
mereka tidak memahami realita
(fiqhul waqi’). Sedangkan yang
memahami waqi’ adalah para
da’i yang terjun langsung ke
medan dakwah. Sehingga para
ulama itu tidak bisa dijadikan
rujukan dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa kekinian, dan
yang dijadikan rujukan adalah
orang-orang yang mereka anggap
sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah-
menjelaskan beberapa sebab
yang menyebabkan manusia
tidak menghormati para ulama.
Diantaranya:
1. Belajar sendiri (otodidak)
atau hanya berguru kepada
kitab tanpa mau duduk di
majlis para ulama
Diantara dampak buruk dari
otodidak adalah :
Orang ini akan
mengukur dengan
keadaan dirinya
sendiri, sehingga
dengan mudahnya
dia memandang
dirinya sebagai orang
alim
Orang ini akan
kehilangan suri
tauladan dalam adab
dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang
orang yang belajar secara
otodidak untuk berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i –
rahimahullah- berkata :
“Siapa yang bertafaqquh dari
perut-perut kitab, maka ia akan
menyia-nyiakan hukum.”
Kemudian beliau bersya’ir :
"Siapa yang mengambil ilmu
langsung dari guru, maka dia
akan terhindar dari kesesatan."
Siapa yang mengambil ilmu dari
buku-buku, maka ilmunya di sisi
para ulama seperti tidak ada.
2. Terlalu tergesa-gesa untuk
menjadi da’i sebelum
menghasilkan batasan paling
rendah dari ilmu dengan
alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang
memposisikan dirinya sebagai
da’i /Ustadz dan dia mengajar ke
sana dan ke sini akan tetapi dia
tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –
radhiyallohu ‘anhu- :
Bertafaqquhlah kalian sebelum
kalian diangkat menjadi
pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –
rahimahullah- berkata :
Orang yang masih rendah
ilmunya dan memposisikan
dirinya sebagai ulama maka ia
akan terluput dari kebaikan yang
sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari orang-
orang yang rendah ilmunya akan
menjadikan orang-orang awam
menyangka bahwa orang itu
adalah ulama. Sehingga
memalingkan mereka dari ulama
yang sesungguhnya.
3. Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa
pintar, maka engkau akan dapati
mereka adalah orang-orang yang
dangkal ilmunya akan tetapi
memposisikan diri mereka
seperti ulama, maka mereka itu
akan ditimpa oleh penyakit ujub
(bangga kepada dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi
Sufyan –radhiyallohu ‘anhuma- :
Orang yang paling tertipu adalah
orang para qari’ (pembaca al-
qur’an) akan tetapi ia tidak
faham apa yang terkandung di
dalamnya. Kemudian dia
mengajar anak-anak dan wanita ,
yang dengan itu dia merasa
besar kemudian berani
mendebat para ulama.
4. Terpengaruh oleh kebebasan
berpendapat gaya barat.
Sehingga menganggap setiap
orang boleh berbicara tentang
agama menurut akal mereka
walaupun tanpa ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita
lihat dan saksikan pada zaman
kita ini. Di mana orang yang
paling awam tentang agama
berbicara dengan sebebas-
bebasnya tentang agama ini,
mengatakan seenaknya tentang
kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang
tahun-tahun yang menipu dan
munculnya para ruwaibidhah:
5. Fanatik Hizbi / Fanatik
Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak
boleh menisbatkan diri kepada
seorang syaikh atau sebuah
kelompok dan memberikan
loyalitas di atasnya.
6. Tidak adanya ketelitian
dalam menukil dan
menyampaikan khabar tentang
ulama
Kemudian dibagian akhir beliau
menyebutkan beberapa adab
yang harus diperhatikan oleh
seorang penuntut ilmu terhadap
para ulama. Diantaranya :
1. Ketahuilah bahwa ulama itu
seperti bintang, dan salah satu
fungsi bintang adalah sebagai
penunjuk jalan.
Kita menjadikan ulama sebagai
penunjuk jalan kita kepada
kebenaran dalam memahami Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Jika
kebenaran telah jelas dihadapan
kita maka tidak boleh kita
berpaling dari kebenaran itu
dengan beralasan pada
perkataan siapapun. Karena
perkataan ulama yang
menyelisihi dalil maka perkataan
tersebut tertolak dan tidak
dianggap. Meskipun demikian
kita tetap menghormati mereka
sebagai ulama dan memaklumi
kekeliruan mereka.
Dikatakan, bahwa wafatnya para
ulama adalah sebuah lubang yang
tidak dapat ditambal, ibarat
sebuah bintang yang jatuh.
2. Ulama adalah manusia biasa
yang tidak ma’shum, terkadang
benar dan terkadang salah.
Ini adalah madzhab ahlussunnah
wal jama’ah, tidak seperti orang-
orang syi’ah yang mengatakan
bahwa para imam mereka adalah
ma’shum.
3. Menghargai pendapat mereka,
dengan tidak mengambil
pendapat mereka yang salah
atau keliru dan tanpa
mengurangi rasa hormat kepada
mereka. Karena kesalahan
mereka jika dibandingkan
dengan kebaikan yang telah
mereka perbuat maka kesalahan
itu tidak ada apa-apanya.
4. Menjaga kehormatan ulama,
dengan tidak menyebutkan
tentang mereka kecuali dengan
kebaikan dan berusaha menutupi
aib mereka.
Beberapa faidah dari soal-jawab
1. Solusi belajar bagi orang yang
“kurang cerdas”, jika yang
dimaksud adalah
* Kurang faham atau kurang
dapat memahami, maka solusinya
adalah dengan bertanya kepada
guru atau ustadz.
* Lemah dalam hafalan, maka
berusahalah semampunya untuk
menghafal. Jika telah mencapai
batas maksimal kemampuannya
dan tidak dapat lebih dari itu,
maka sesungguhnya Allah tidak
membebani kecuali sekadar
kemampuan hamba.
2. Menyikapi perbedaan/
perselisihan yang terjadi
diantara ulama yang hidup
dizaman ini.
Berkata Imam Adz-Dzahabi :
“Perselisihan para ulama yang
sezaman hendaknya dilipat dan
tidak digubris”
Bagi para penuntut ilmu
hendaknya mereka menyibukkan
diri dengan belajar dan
memperkokoh keilmuan mereka.
Jangan tersibukkan dengan
perselisihan-perselisihan yang
sifatnya ijtihadi dan perkara-
perkara fitnah.
3. Cara paling jitu dalam
menyikapi media yang
menyesatkan, baik media cetak
maupun elektronik adalah
dengan mengabaikannya, tidak
membelinya dan tidak
membacanya. Kemudian
menyibukkan diri dengan ilmu
yang bermanfaat.
4. Tentang fanatik kepada
“Salaf” maka perlu dirinci
* Jika yang dimaksud dengan
salaf adalah Nabi –shallallohu
‘alaihi wa sallam- dan para
Shahabatnya –radhiyallohu
‘anhum-, maka fanatik kepada
mereka adalah wajib. Karena
kebenaran ada pada mereka.
* Jika yang dimaksud adalah
orang yang menisbatkan kepada
salafiy maka ini tidak boleh,
karena orang ini bisa jadi benar
dan bisa jadi salah.
5. Cara berguru bagi penuntut
ilmu
Jika ia termasuk
penuntut ilmu
pemula, maka
hendaknya ia
mengambil ilmu dari
satu guru agar tidak
dibingungkan dengan
berbagai pendapat-
pendapat
Jika ia termasuk
orang yang mulai
baik keilmuannya
maka hendaknya ia
belajar dari
beberapa guru agar
keilmuannya
semakin luas dan
pandangannya
semakin terbuka.
Karena orang yang hanya
berguru kepada seorang guru
saja tanpa yang lainnya, maka
kemungkinan dia untuk jatuh
kedalam fanatisme akan lebih
besar.
6. Termasuk akhlaq yang tercela
adalah apabila ada seorang
penuntut ilmu yang meng-ghibah
gurunya karena kesalahan dari
gurunya yang diketahui olehnya.
7. Seorang disebut sebagai ulama
apabila:
* Menguasai Al-Qur’an
* Memahami hadits, ilmu-
ilmunya dan tatacara istinbath
* Memahami cara mentarjih
* Disamping itu ia juga harus
menguasai ilmu bahasa arab dan
ilmu-ilmu alat lainnya.
Akan tetapi tidak disyaratkan
bagi seorang ulama itu harus
menghafal alqur’an seluruhnya
8. Menghilangkan sifat malu
yang tidak pada tempatnya,
yakni malu dalam menuntut ilmu
adalah dengan memperhatikan
ucapan salaf :
“Tidak akan dapat menuntut ilmu,
orang yang pemalu (yang
berlebihan malunya) dan orang
yang sombong”
Kemudian untuk dapat
merasakan manisnya ilmu dan
menuntut ilmu adalah dengan
mengikhlaskan niat dan dengan
menjauhi maksiat.
9. Rincian mencela ulama yang
sesat
Ulama sesat tersebut
sudah meningal
dunia, maka cukup
dengan menyebutkan
kesesatan-
kesesatannya tanpa
mencela orangnya.
Karena ia akan
mendapatkan
balasan atas apa
yang diperbuatnya di
dunia.
Ulama sesat tersebut
masih hidup. Maka
harus ditimbang
manfaat dan
mafsadatnya, mana
yang lebih baik,
mencelanya atau
mendiamkannya.
Tapi yang wajib
adalah
memperingatkan
orang dari kesesatan-
kesesatannya agar
mereka berhati-hati
terhadap orang yang
memiliki kesesatan
tersebut.
10. Termasuk adab adalah
mengangkat tangan untuk
meminta izin keluar dari majelis
untuk suatu keperluan.
11. Syarat meraih kepemimpinan
adalah dengan Ilmu yang
mendalam dan kesabaran
12. Pernyataan sebagian orang
agar hendaknya kita juga melihat
kepada pendapat ulama lain,
maka harus dirinci :
Jika yang dimaksud
adalah ulama
ahlussunnah yang
lain, seperti melihat
pendapat-pendapat
imam-imam
madzhab yang
empat, maka ini
adalah bagus. Karena
hal ini dapat
memperkokoh ilmu.
Jika yang dimaksud
adalah ulama yang
menyimpang dari
kalangan pengikut
hawa nafsu, maka ini
sama sekali tidak
perlu. Karena ulama
ahlussunnah telah
mencukupi.
Dalam sebuah atsar (riwayat)
yang populer disebutkan, jadilah
seorang alim, atau seorang
penuntut ilmu, atau seorang
penyimak ilmu yang baik, atau
seorang yang mencintai Ahli Ilmu
dan janganlah jadi yang kelima,
niscaya kalian binasa. [1]
Salah seorang ulama Salaf
mengatakan: "Maha suci Allah,
Dia telah memberi jalan keluar
bagi kaum muslimin. Yakni tidak
akan keluar dari keempat
golongan manusia yang dipuji
tadi, melainkan golongan yang
kelima, golongan yang binasa.
Yaitu seorang yang bukan alim,
bukan penuntut ilmu, bukan
penyimak yang baik dan bukan
pula orang yang mencintai Ahli
Ilmu. Dialah orang yang binasa.
Sebab, barangsiapa membenci
Ahli Ilmu, berarti ia pasti
mengharapkan kebinasaan
mereka. Dan barangsiapa yang
mengharapkan kebinasaan Ahli
Ilmu, berarti ia menyukai
padamnya cahaya Allah di atas
muka bumi. Sehingga
kemaksiatan dan kerusakan
merajalela. Kalau sudah begitu
keadaannya, dikhawatirkan tidak
akan ada amal yang terangkat.
Demikianlah yang dikatakan oleh
Sufyan Ats Tsauri."
Ubadah bin Shamit Radhiyallahu
'anhu meriwayatkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳُﺠِﻞَّ ﻛَﺒِﻴﺮَﻧَﺎ
ﻭَﻳَﺮْﺣَﻢْ ﺻَﻐِﻴﺮَﻧَﺎ ﻭَﻳَﻌْﺮِﻑْ ﻟِﻌَﺎﻟِﻤِﻨَﺎ ﺣَﻘَّﻪُ
Bukan termasuk ummatku, siapa
yang tidak memuliakan orang
yang lebih tua, menyayangi
orang yang lebih muda dan
mengetahui hak-hak orang alim.
[3]
Thawus rahimahullah
mengatakan: "Termasuk Sunnah,
yaitu menghormati orang
alim." [4]
Berdasarkan nash-nash di atas,
jelaslah bahwa kewajiban setiap
muslim terhadap para ulama dan
orang-orang shalih adalah
mencintai dan menyukai mereka,
menghormati dan memuliakan
mereka, tanpa berlebih-lebihan
atau merendahkan sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.
Mengolok-olok ulama dan orang-
orang shalih, mengejek atau
melecehkan mereka, tentu saja
bertentangan dengan perintah
untuk mencintai dan memuliakan
mereka. Melecehkan ulama dan
orang shalih, sama artinya
dengan menghina dan
merendahkan mereka. [5]
Al Alusi mengatakan: "Istihza',
artinya merendahkan dan
mengolok-olok. Al Ghazzali
menyebutkan makna istihza',
yaitu merendahkan,
menghinakan dan menyebutkan
aib dan kekurangan, supaya
orang lain mentertawainya; bisa
jadi dengan perkataan, dan bisa
dengan perbuatan dan
isyarat." [6]
Mengolok-olok dan memandang
rendah Ahli Ilmu dan orang
shalih, termasuk sifat orang kafir
dan salah satu cabang
kemunafikan. Sebagaimana
disebutkan dalam banyak ayat,
diantaranya yaitu:
ﺯُﻳِّﻦَ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻳَﺴْﺨَﺮُﻭﻥَ
ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺗَّﻘَﻮْﺍ ﻓَﻮْﻗَﻬُﻢْ
ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻳَﺮْﺯُﻕُ ﻣَﻦ ﻳَﺸَﺂﺀُ ﺑِﻐَﻴْﺮِ
ﺣِﺴَﺎﺏٍ
Kehidupan dunia dijadikan indah
dalam pandangan orang-orang
kafir, dan mereka memandang
hina orang-orang yang beriman.
Padahal orang-orang yang
bertaqwa itu lebih mulia dari
pada mereka di hari Kiamat. Dan
Allah memberi rezki kepada
orang-orang yang
dikehendakiNya tanpa batas. [Al
Baqarah:212]
Dalam ayat lain Allah
mengatakan:
ﻭَﻣَﻦْ ﺧَﻔَّﺖْ ﻣَﻮَﺍﺯِﻳﻨُﻪُ ﻓَﺄُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺧَﺴِﺮُﻭﺍ ﺃَﻧﻔُﺴَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺧَﺎﻟِﺪُﻭﻥَ .
ﺗَﻠْﻔَﺢُ ﻭُﺟُﻮﻫَﻬُﻢُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻛَﺎﻟِﺤُﻮﻥَ
. ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺀَﺍﻳَﺎﺗِﻲ ﺗُﺘْﻠَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﻜُﻨﺘُﻢ
ﺑِﻬَﺎ ﺗُﻜَﺬِّﺑُﻮﻥَ . ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻏَﻠَﺒَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ
ﺷِﻘْﻮَﺗُﻨَﺎ ﻭَﻛُﻨَّﺎ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺿَﺂﻟِّﻴﻦَ . ﺭَﺑَّﻨَﺂ ﺃَﺧْﺮِﺟْﻨَﺎ
ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻥْ ﻋُﺪْﻧَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﺎ ﻇَﺎﻟِﻤُﻮﻥَ . ﻗَﺎﻝَ
ﺍﺧْﺴَﺌُﻮﺍ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻭَﻻَﺗُﻜَﻠِّﻤُﻮﻥِ . ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ
ﻓَﺮِﻳﻖٌ ﻣِّﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺂ ﺀَﺍﻣَﻨَّﺎ
ﻓَﺎﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻨَﺎ ﻭَﺍﺭْﺣَﻤْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻧﺖَ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻤِﻴﻦَ .
ﻓَﺎﺗَّﺨَﺬْﺗُﻤُﻮﻫُﻢْ ﺳِﺨْﺮِﻳًّﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻧﺴَﻮْﻛُﻢْ
ﺫِﻛْﺮِﻱ ﻭَﻛُﻨﺘُﻢ ﻣِّﻨْﻬُﻢْ ﺗَﻀْﺤَﻜُﻮﻥَ . ﺇِﻧِّﻲ
ﺟَﺰَﻳْﺘُﻬُﻢُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺑِﻤَﺎﺻَﺒَﺮُﻭﺍ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻫُﻢُ
apaisgnarab naD
ﺍﻟْﻔَﺂﺋِﺰُﻭﻥَ yang ringan
timbangannya, maka mereka
itulah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri,
mereka kekal di dalam naar
Jahannam. Muka mereka dibakar
api naar, dan mereka di dalam
naar itu dalam keadaan cacat.
Bukankah ayat-ayatKu telah
dibacakan kepadamu sekalian,
tetapi kamu selalu
mendustakannya? Mereka
berkata: "Ya Rabb kami, kami
telah dikuasai oleh kejahatan
kami, dan adalah kami orang-
orang yang tersesat. Ya Rabb
kami, keluarkanlah kami
daripadanya (dan kembalikanlah
kami ke dunia), maka jika kami
kembali (juga kepada kekafiran),
sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang zhalim". Allah
berfirman: "Tinggallah dengan
hina di dalamnya, dan janganlah
kamu berbicara dengan Aku.
Sesungguhnya ada segolongan
dari hamba-hambaKu berdo'a (di
dunia): "Ya Rabb kami, kami
telah beriman, maka ampunilah
kami dan berilah kami rahmat
dan Engkau adalah Pemberi
rahmat Yang Paling Baik. Lalu
kamu menjadikan mereka buah
ejekan, sehingga (kesibukan)
kamu mengejek mereka,
menjadikan kamu lupa
mengingat Aku, dan adalah kamu
selalu mentertawakan mereka,
Sesungguhnya Aku memberi
balasan kepada mereka di hari
ini, karena kesabaran mereka;
sesungguhnya mereka itulah
orang-orang yang menang. [Al
Mu’minun:103-111].
Berkaitan dengan tafsir ayat ini,
Ibnu Katsir menyatakan:
Kemudian Allah menyebutkan
dosa mereka di dunia, yaitu
mereka dahulu mengolok-olok
hamba-hamba Allah yang
beriman dan para waliNya. Allah
mengatakan: "Sesungguhnya ada
segolongan dari hamba-hambaKu
berdo'a (di dunia): Ya Rabb
kami, kami telah beriman, maka
ampunilah kami dan berilah
kami rahmat dan Engkau adalah
Pemberi rahmat Yang Paling
Baik. Lalu kamu menjadikan
mereka buah ejekan," yakni
kalian malah mengolok-olok dan
mengejek do’a dan permohonan
mereka kepadaKu. Sampai pada
firman Allah "sehingga
(kesibukan) kamu mengejek
mereka, menjadikan kamu lupa
mengingat Aku," yakni kebencian
kalian kepada mereka membuat
kalian lupa kepadaKu. Firman
Allah: "kamu selalu
mentertawakan mereka," yakni
mentertawakan perbuatan dan
amal ibadah mereka. [7]
Dalam ayat lain Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﺟْﺮَﻣُﻮﺍ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ
ﻳَﻀْﺤَﻜُﻮﻥَ . ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮُّﻭﺍ ﺑِﻬِﻢْ ﻳَﺘَﻐَﺎﻣَﺰُﻭﻥَ .
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﻘَﻠَﺒُﻮﺍ ﺇِﻟﻰَ ﺃَﻫْﻠِﻬِﻢُ ﺍﻧﻘَﻠَﺒُﻮﺍ
ﻓَﺎﻛِﻬِﻴﻦَ . ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻭْﻫُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﻫَﺂﺅُﻵَﺀِ
ﻟَﻀّﺂﻟُّﻮﻥَ . ﻭَﻣَﺂﺃُﺭْﺳِﻠُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ gnay gnaro-gnaro aynhuggnuseS
ﺣَﺎﻓِﻈِﻴﻦَ
berdosa, adalah mereka yang
dahulunya (di dunia)
mentertawakan orang-orang yang
beriman. Dan apabila orang-
orang beriman lalu di hadapan
mereka, mereka saling
mengedip-ngedipkan matanya.
Dan apabila orang-orang berdosa
itu kembali kepada kaumnya,
mereka kembali dengan gembira.
Dan apabila mereka melihat
orang-orang mu'min, mereka
mengatakan: "Sesungguhnya
mereka itu benar-benar orang-
orang yang sesat", padahal orang-
orang yang berdosa itu tidak
dikirim untuk penjaga bagi
orang-orang mu'min. [Al
Muthaffifin:29-33].
Ayat ini merupakan dalil, bahwa
mengolok-olok itu ada kalanya
dengan isyarat. Dalam ayat ini
Allah menggambarkan,
bagaimana bentuk olok-olokan
orang-orang kafir terhadap
orang-orang mukmin, yaitu
mereka saling mengedip-
ngedipkan mata, dengan tujuan
mengejek.
Dalam ayat lain, Allah
menjelaskan tentang kebiasaan
orang-orang munafik:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘُﻮﺍ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺀَﺍﻣَﻨَّﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ
ﺧَﻠَﻮْﺇِﻟﻰَ ﺷَﻴَﺎﻃِﻴﻨِﻬِﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻧَّﺎ ﻣَﻌَﻜُﻢْ
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻧَﺤْﻦُ . َﻥﻭُﺀِﺰْﻬَﺘْﺴُﻣ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﺴْﺘَﻬْﺰِﺉُ
ﺑِﻬِﻢْ ﻭَﻳَﻤُﺪُّﻫُﻢْ ﻓِﻲ alib naD
ﻃُﻐْﻴَﺎﻧِﻬِﻢْ ﻳَﻌْﻤَﻬُﻮﻥَ mereka berjumpa
dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan:
"Kami telah beriman". Dan bila
mereka kembali kepada syetan-
syetan mereka, mereka
mengatakan: "Sesungguhnya
kami sependirian dengan kamu,
kami hanyalah berolok-olok".
Allah akan (membalas) olokan-
olokan mereka dan membiarkan
mereka terombang-ambing dalam
kesesatan mereka. [Al
Baqaarah:14, 15].
Dalam ayat lain, Allah
menjelaskan pula:
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻠْﻤِﺰُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﻄَّﻮِّﻋِﻴﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻻَﻳَﺠِﺪُﻭﻥَ ﺇِﻻَّ
ﺟُﻬْﺪَﻫُﻢْ ﻓَﻴَﺴْﺨَﺮُﻭﻥَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺳَﺨِﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ
ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ gnaro-gnaro(
ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ munafik) yaitu
orang-orang yang mencela orang-
orang mu'min yang memberi
sedekah dengan sukarela dan
(mencela) orang-orang yang
tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar
kesanggupannya, maka orang-
orang munafik itu menghina
mereka. Allah akan membalas
penghinaan mereka itu, dan
untuk mereka adzab yang pedih.
[At Taubah:79].
Musuh-musuh Islam, diantaranya
orang-orang Yahudi dan Nasrani
serta orang-orang munafik yang
mengikuti mereka, senantiasa
berusaha menjelek-jelekkan citra
ulama Islam, berusaha
meruntuhkan kepercayaan umat
kepada para ulama dengan
sindiran-sindiran dan komentar-
komentar negatif tentang ulama.
Hal ini perlu diwaspadai oleh
kaum muslimin. Mereka jangan
sampai ikut-ikutan menjelek-
jelekkan alim ulama.
Dalam Protokalat Yahudi, pada
protokolar nomor 27 disebutkan
sebagai berikut: Kami telah
berusaha sekuat tenaga untuk
menjatuhkan martabat tokoh-
tokoh agama dari kalangan
orang-orang non Yahudi dalam
pandangan manusia. Oleh karena
itu, kami berhasil merusak
agama mereka yang bisa menjadi
ganjalan bagi perjalanan kami.
Sesungguhnya pengaruh tokoh-
tokoh agama terhadap manusia
mulai melemah hari demi hari.
[8]
Jadi jelaslah, setiap tindakan
yang bertujuan mendiskreditkan
para ulama dan tokoh agama
termasuk tindakan makar
terhadap agama ini. Pelakunya
harus dihukum dan ditindak
tegas. Pelecehan terhadap para
ulama dan orang shalih ada dua:
Pertama : Pelecehan terhadap
pribadi ulama. Contohnya,
misalnya orang yang mengejek
sifat-sifat tertentu yang dimiliki
oleh ulama tersebut. Demikian
ini hukumnya haram, karena
Allah telah berfirman:
ﻳَﺎﺃّﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَﻳَﺴْﺨَﺮْ ﻗَﻮْﻡُُ ﻣِّﻦ
ﻗَﻮْﻡٍ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِّﻨْﻬُﻢْ
ﻭَﻻَﻧِﺴَﺂﺀُُ ﻣِّﻦ ﻧِّﺴَﺂﺀٍ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥ ﻳَﻜُﻦَّ ﺧَﻴْﺮًﺍ
ﻣِّﻨْﻬُﻦَّ ﻭَﻻَﺗَﻠْﻤِﺰُﻭﺍ ﺃَﻧﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﻻَﺗَﻨَﺎﺑَﺰُﻭﺍ
ﺑِﺎْﻷَﻟْﻘَﺎﺏِ ﺑِﺌْﺲَ ﺍْﻹِﺳْﻢُ ﺍﻟْﻔُﺴُﻮﻕُ ﺑَﻌْﺪَ
ﺍْﻹِﻳﻤَﺎﻥِ ﻭَﻣَﻦ ﻟَّﻢْ ﻳَﺘُﺐْ ﻓَﺄُﻭْﻻَﺋِﻚَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤُﻮﻥَ
ﻫُﻢُ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-
olokkan kaum yang lain,
(karena) boleh jadi mereka (yang
diolok-olokkan) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-
olokkan), dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-
olokkan) wanita lain (karena)
boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik
dari wanita (yang mengolok-
olokkan) dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang zhalim. [Al
Hujurat:11].
Berkenaan dengan ayat ini, Ibnu
Katsir menyatakan: "Allah
Subhanahu wa Ta'ala melarang
mengolok-olok orang lain. Yaitu
merendahkan dan menghinakan
mereka. Sebagaimana disebutkan
sebuah hadits dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
bahwa Beliau bersabda: Sombong
itu adalah menolak kebenaran
dan menghinakan orang lain." [9]
Kedua : Mengolok-olok ulama
karena kedudukan mereka
sebagai ulama, karena ilmu syar'i
yang mereka miliki. Demikian ini
termasuk perbuatan zindiq,
karena termasuk melecehkan
agama Allah. Demikian pula
mengolok-olok orang shalih,
orang yang menjalankan Sunnah
Nabi. Allah telah menggolongkan
pelecehan terhadap orang-orang
yang beriman sebagai pelecehan
terhadapNya. Dalam surat At
Taubah, Allah berfirman:
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ
ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺀَﺍﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ
ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭﻥَ
Dan jika kamu tanyakan kepada
mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab:
"Sesungguhnya kami hanya
bersenda gurau dan bermain-
main saja". Katakanlah: "Apakah
dengan Allah, ayat-ayatNya dan
RasulNya kamu selalu berolok-
olok?" [At Taubah:65].
Perbuatan Menghina Ulama
termasuk perbuatan zindiq dan
nifaq wal iyadzu billah. Dari
keterangan di atas, kita dapat
menyimpulkan, bahwa
melecehkan ulama termasuk
dosa besar. Para ulama
menggolongkannya sebagai
perbuatan kufur dan nifak.
Semoga Allah menjauhkan kita
darinya.
Senin, 04 Desember 2017
RESIKO MENCELA ULAMA DAN AHLUL ILMI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar