Sebelum membahas hukumnya,
terlebih dahulu kita harus
mengetahui kedudukan para
ulama dan orang-orang shalih
di sisi Allah, serta kewajiban
kita terhadap mereka. Para
ulama memiliki kedudukan
yang mulia dan agung di sisi
Allah. Allah telah meninggikan
derajat mereka dan
mengistimewakan mereka dari
yang lainnya. Allah Azza wa
Jalla berfirman,
ﻳَﺮْﻓَﻊِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻣِﻨﻜُﻢْ
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺩَﺭَﺟَﺎﺕٍ
Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.
[al-Mujadilah/58 : 11].
Dalam ayat lain Allah Azza wa
Jalla mengatakan:
ﻗُﻞْ ﻫَﻞْ ﻳَﺴْﺘَﻮِﻱ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻻَﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺘَﺬَﻛَّﺮُ ﺃُﻭﻟُﻮﺍ
ﺍْﻷَﻟْﺒَﺎﺏِ
Katakanlah: “Adakah sama
orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak
mengetahui” Sesungguhnya
orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran. [az-
Zumar/39 : 9].
Banyak nash-nash yang
menyebutkan keutamaan dan
keistimewaan Ahli Ilmu.
Konsekuensi dari nash-nash
tersebut, adalah wajibnya
menghormati dan menjunjung
tinggi kehormatan para ulama.
Karena mereka merupakan
pewaris Nabi, penerus misi
dakwah yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabat
Beliau Radhiyallahu ‘anhum.
Dalam sebuah atsar (riwayat)
yang populer disebutkan,
jadilah seorang alim, atau
seorang penuntut ilmu, atau
seorang penyimak ilmu yang
baik, atau seorang yang
mencintai Ahli Ilmu dan
janganlah jadi yang kelima,
niscaya kalian binasa.[1]
Salah seorang ulama Salaf
mengatakan: “Maha suci Allah,
Dia telah memberi jalan keluar
bagi kaum muslimin. Yakni
tidak akan keluar dari keempat
golongan manusia yang dipuji
tadi, melainkan golongan yang
kelima, golongan yang binasa.
Yaitu seorang yang bukan alim,
bukan penuntut ilmu, bukan
penyimak yang baik dan bukan
pula orang yang mencintai Ahli
Ilmu. Dialah orang yang
binasa. Sebab, barangsiapa
membenci Ahli Ilmu, berarti ia
pasti mengharapkan
kebinasaan mereka. Dan
barangsiapa yang
mengharapkan kebinasaan Ahli
Ilmu, berarti ia menyukai
padamnya cahaya Allah di atas
muka bumi. Sehingga
kemaksiatan dan kerusakan
merajalela. Kalau sudah begitu
keadaannya, dikhawatirkan
tidak akan ada amal yang
terangkat. Demikianlah yang
dikatakan oleh Sufyan Ats
Tsauri.”
Menghormati ulama termasuk
pengagungan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abu Musa Al Asy’ari
Radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ﺇِﻥَّ ﻣِﻦْ ﺇِﺟْﻠَﺎﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻛْﺮَﺍﻡَ ﺫِﻱ ﺍﻟﺸَّﻴْﺒَﺔِ
ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻭَﺣَﺎﻣِﻞِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻐَﺎﻟِﻲ
ﻓِﻴﻪِ ﻭَﺍﻟْﺠَﺎﻓِﻲ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺇِﻛْﺮَﺍﻡَ ﺫِﻱ
ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥِ ﺍﻟْﻤُﻘْﺴِﻂِ
Sesungguhnya termasuk
pengagungan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yaitu
memuliakan orang tua yang
muslim, orang yang hafal Al
Qur’an tanpa berlebih-lebihan
atau berlonggar-longgar di
dalamnya dan memuliakan
penguasa yang adil.[2]
Ubadah bin Shamit
Radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳُﺠِﻞَّ ﻛَﺒِﻴﺮَﻧَﺎ
ﻭَﻳَﺮْﺣَﻢْ ﺻَﻐِﻴﺮَﻧَﺎ ﻭَﻳَﻌْﺮِﻑْ ﻟِﻌَﺎﻟِﻤِﻨَﺎ ﺣَﻘَّﻪُ
Bukan termasuk ummatku,
siapa yang tidak memuliakan
orang yang lebih tua,
menyayangi orang yang lebih
muda dan mengetahui hak-hak
orang alim.[3]
Thawus rahimahullah
mengatakan: “Termasuk
Sunnah, yaitu menghormati
orang alim.” [4]
Berdasarkan nash-nash di atas,
jelaslah bahwa kewajiban
setiap muslim terhadap para
ulama dan orang-orang shalih
adalah mencintai dan
menyukai mereka, menghormati
dan memuliakan mereka, tanpa
berlebih-lebihan atau
merendahkan sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.
Mengolok-olok ulama dan
orang-orang shalih, mengejek
atau melecehkan mereka, tentu
saja bertentangan dengan
perintah untuk mencintai dan
memuliakan mereka.
Melecehkan ulama dan orang
shalih, sama artinya dengan
menghina dan merendahkan
mereka. [5]
Al Alusi mengatakan: “Istihza’,
artinya merendahkan dan
mengolok-olok. Al Ghazzali
menyebutkan makna istihza’,
yaitu merendahkan,
menghinakan dan menyebutkan
aib dan kekurangan, supaya
orang lain mentertawainya;
bisa jadi dengan perkataan,
dan bisa dengan perbuatan
dan isyarat.” [6]
Mengolok-olok dan memandang
rendah Ahli Ilmu dan orang
shalih, termasuk sifat orang
kafir dan salah satu cabang
kemunafikan. Sebagaimana
disebutkan dalam banyak ayat,
diantaranya yaitu:
ﺯُﻳِّﻦَ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
ﻭَﻳَﺴْﺨَﺮُﻭﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺍﺗَّﻘَﻮْﺍ ﻓَﻮْﻗَﻬُﻢْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ
ﻳَﺮْﺯُﻕُ ﻣَﻦ ﻳَﺸَﺂﺀُ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺣِﺴَﺎﺏٍ
Kehidupan dunia dijadikan
indah dalam pandangan orang-
orang kafir, dan mereka
memandang hina orang-orang
yang beriman. Padahal orang-
orang yang bertaqwa itu lebih
mulia dari pada mereka di hari
Kiamat. Dan Allah memberi
rezki kepada orang-orang yang
dikehendakiNya tanpa batas.
[al-Baqarah/2 : 212]
Dalam ayat lain Allah Azza wa
Jalla mengatakan:
ﻭَﻣَﻦْ ﺧَﻔَّﺖْ ﻣَﻮَﺍﺯِﻳﻨُﻪُ ﻓَﺄُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺧَﺴِﺮُﻭﺍ ﺃَﻧﻔُﺴَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺧَﺎﻟِﺪُﻭﻥَ
. ﺗَﻠْﻔَﺢُ ﻭُﺟُﻮﻫَﻬُﻢُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ
ﻛَﺎﻟِﺤُﻮﻥَ . ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺀَﺍﻳَﺎﺗِﻲ ﺗُﺘْﻠَﻰ
ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﻜُﻨﺘُﻢ ﺑِﻬَﺎ ﺗُﻜَﺬِّﺑُﻮﻥَ . ﻗَﺎﻟُﻮﺍ
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻏَﻠَﺒَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺷِﻘْﻮَﺗُﻨَﺎ ﻭَﻛُﻨَّﺎ ﻗَﻮْﻣًﺎ
. َﻦﻴِّﻟﺂَﺿ ﺭَﺑَّﻨَﺂ ﺃَﺧْﺮِﺟْﻨَﺎ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻥْ ﻋُﺪْﻧَﺎ
ﻓَﺈِﻧَّﺎ ﻇَﺎﻟِﻤُﻮﻥَ . ﻗَﺎﻝَ ﺍﺧْﺴَﺌُﻮﺍ ﻓِﻴﻬَﺎ
ﻭَﻻَﺗُﻜَﻠِّﻤُﻮﻥِ . ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻓَﺮِﻳﻖٌ ﻣِّﻦْ
ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺂ ﺀَﺍﻣَﻨَّﺎ ﻓَﺎﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻨَﺎ
ﻭَﺍﺭْﺣَﻤْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻧﺖَ ﺧَﻴْﺮُ . َﻦﻴِﻤِﺣﺍَّﺮﻟﺍ
ﻓَﺎﺗَّﺨَﺬْﺗُﻤُﻮﻫُﻢْ ﺳِﺨْﺮِﻳًّﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻧﺴَﻮْﻛُﻢْ
ﺫِﻛْﺮِﻱ ﻭَﻛُﻨﺘُﻢ ﻣِّﻨْﻬُﻢْ ﺗَﻀْﺤَﻜُﻮﻥَ . ﺇِﻧِّﻲ
ﺟَﺰَﻳْﺘُﻬُﻢُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺑِﻤَﺎﺻَﺒَﺮُﻭﺍ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻫُﻢُ
ﺍﻟْﻔَﺂﺋِﺰُﻭﻥَ
Dan barangsiapa yang ringan
timbangannya, maka mereka
itulah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri,
mereka kekal di dalam naar
Jahannam. Muka mereka
dibakar api naar, dan mereka
di dalam naar itu dalam
keadaan cacat. Bukankah ayat-
ayatKu telah dibacakan
kepadamu sekalian, tetapi
kamu selalu mendustakannya?
Mereka berkata: “Ya Rabb kami,
kami telah dikuasai oleh
kejahatan kami, dan adalah
kami orang-orang yang
tersesat. Ya Rabb kami,
keluarkanlah kami daripadanya
(dan kembalikanlah kami ke
dunia), maka jika kami kembali
(juga kepada kekafiran),
sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang zhalim”.
Allah berfirman: “Tinggallah
dengan hina di dalamnya, dan
janganlah kamu berbicara
dengan Aku. Sesungguhnya ada
segolongan dari hamba-
hambaKu berdo’a (di dunia):
“Ya Rabb kami, kami telah
beriman, maka ampunilah kami
dan berilah kami rahmat dan
Engkau adalah Pemberi rahmat
Yang Paling Baik. Lalu kamu
menjadikan mereka buah
ejekan, sehingga (kesibukan)
kamu mengejek mereka,
menjadikan kamu lupa
mengingat Aku, dan adalah
kamu selalu mentertawakan
mereka, Sesungguhnya Aku
memberi balasan kepada
mereka di hari ini, karena
kesabaran mereka;
sesungguhnya mereka itulah
orang-orang yang menang. [al-
Mu’minun/23 : 103-111].
Berkaitan dengan tafsir ayat
ini, Ibnu Katsir menyatakan:
Kemudian Allah menyebutkan
dosa mereka di dunia, yaitu
mereka dahulu mengolok-olok
hamba-hamba Allah yang
beriman dan para waliNya.
Allah mengatakan:
“Sesungguhnya ada segolongan
dari hamba-hambaKu berdo’a
(di dunia): Ya Rabb kami, kami
telah beriman, maka
ampunilah kami dan berilah
kami rahmat dan Engkau
adalah Pemberi rahmat Yang
Paling Baik. Lalu kamu
menjadikan mereka buah
ejekan,” yakni kalian malah
mengolok-olok dan mengejek
do’a dan permohonan mereka
kepadaKu. Sampai pada firman
Allah “sehingga (kesibukan)
kamu mengejek mereka,
menjadikan kamu lupa
mengingat Aku,” yakni
kebencian kalian kepada
mereka membuat kalian lupa
kepadaKu. Firman Allah: “kamu
selalu mentertawakan mereka,”
yakni mentertawakan
perbuatan dan amal ibadah
mereka. [7]
Dalam ayat lain Allah
Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﺟْﺮَﻣُﻮﺍ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻳَﻀْﺤَﻜُﻮﻥَ . ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮُّﻭﺍ ﺑِﻬِﻢْ
ﻳَﺘَﻐَﺎﻣَﺰُﻭﻥَ . ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﻘَﻠَﺒُﻮﺍ ﺇِﻟﻰَ
ﺃَﻫْﻠِﻬِﻢُ ﺍﻧﻘَﻠَﺒُﻮﺍ ﻓَﺎﻛِﻬِﻴﻦَ . ﻭَﺇِﺫَﺍ
ﺭَﺃَﻭْﻫُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﻫَﺂﺅُﻵَﺀِ . َﻥﻮُّﻟﺂّﻀَﻟ
ﻭَﻣَﺂﺃُﺭْﺳِﻠُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺣَﺎﻓِﻈِﻴﻦَ
Sesungguhnya orang-orang
yang berdosa, adalah mereka
yang dahulunya (di dunia)
mentertawakan orang-orang
yang beriman. Dan apabila
orang-orang beriman lalu di
hadapan mereka, mereka saling
mengedip-ngedipkan matanya.
Dan apabila orang-orang
berdosa itu kembali kepada
kaumnya, mereka kembali
dengan gembira. Dan apabila
mereka melihat orang-orang
mu’min, mereka mengatakan:
“Sesungguhnya mereka itu
benar-benar orang-orang yang
sesat”, padahal orang-orang
yang berdosa itu tidak dikirim
untuk penjaga bagi orang-
orang mu’min. [al-
Muthaffifin/83 : 29-33].
Ayat ini merupakan dalil,
bahwa mengolok-olok itu ada
kalanya dengan isyarat. Dalam
ayat ini Allah menggambarkan,
bagaimana bentuk olok-olokan
orang-orang kafir terhadap
orang-orang mukmin, yaitu
mereka saling mengedip-
ngedipkan mata, dengan
tujuan mengejek.
Dalam ayat lain, Allah Azza wa
Jalla menjelaskan tentang
kebiasaan orang-orang munafik:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘُﻮﺍ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺀَﺍﻣَﻨَّﺎ
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺧَﻠَﻮْﺇِﻟﻰَ ﺷَﻴَﺎﻃِﻴﻨِﻬِﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻧَّﺎ
ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﻣُﺴْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭﻥَ . ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻳَﺴْﺘَﻬْﺰِﺉُ ﺑِﻬِﻢْ ﻭَﻳَﻤُﺪُّﻫُﻢْ ﻓِﻲ
ﻃُﻐْﻴَﺎﻧِﻬِﻢْ ﻳَﻌْﻤَﻬُﻮﻥَ
Dan bila mereka berjumpa
dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan:
“Kami telah beriman”. Dan bila
mereka kembali kepada syetan-
syetan mereka, mereka
mengatakan: “Sesungguhnya
kami sependirian dengan
kamu, kami hanyalah berolok-
olok”. Allah akan (membalas)
olokan-olokan mereka dan
membiarkan mereka
terombang-ambing dalam
kesesatan mereka. [al-
Baqaarah/2 : 14-15].
Dalam ayat lain, Allah Azza wa
Jalla menjelaskan pula:
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻠْﻤِﺰُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﻄَّﻮِّﻋِﻴﻦَ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻻَﻳَﺠِﺪُﻭﻥَ ﺇِﻻَّ ﺟُﻬْﺪَﻫُﻢْ ﻓَﻴَﺴْﺨَﺮُﻭﻥَ
ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺳَﺨِﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
ﻋَﺬَﺍﺏٌ
(orang-orang munafik) yaitu
orang-orang yang mencela
orang-orang mu’min yang
memberi sedekah dengan
sukarela dan (mencela) orang-
orang yang tidak memperoleh
(untuk disedekahkan) selain
sekedar kesanggupannya, maka
orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan
membalas penghinaan mereka
itu, dan untuk mereka adzab
yang pedih. [At Taubah:79].
Musuh-musuh Islam,
diantaranya orang-orang
Yahudi dan Nasrani serta
orang-orang munafik yang
mengikuti mereka, senantiasa
berusaha menjelek-jelekkan
citra ulama Islam, berusaha
meruntuhkan kepercayaan
umat kepada para ulama
dengan sindiran-sindiran dan
komentar-komentar negatif
tentang ulama. Hal ini perlu
diwaspadai oleh kaum
muslimin. Mereka jangan
sampai ikut-ikutan menjelek-
jelekkan alim ulama.
Dalam Protokalat Yahudi, pada
protokolar nomor 27 disebutkan
sebagai berikut: Kami telah
berusaha sekuat tenaga untuk
menjatuhkan martabat tokoh-
tokoh agama dari kalangan
orang-orang non Yahudi dalam
pandangan manusia. Oleh
karena itu, kami berhasil
merusak agama mereka yang
bisa menjadi ganjalan bagi
perjalanan kami.
Sesungguhnya pengaruh tokoh-
tokoh agama terhadap manusia
mulai melemah hari demi hari.
[8]
Jadi jelaslah, setiap tindakan
yang bertujuan
mendiskreditkan para ulama
dan tokoh agama termasuk
tindakan makar terhadap
agama ini. Pelakunya harus
dihukum dan ditindak tegas.
Pelecehan terhadap para ulama
dan orang shalih ada dua:
Pertama : Pelecehan terhadap
pribadi ulama .
Contohnya, misalnya orang
yang mengejek sifat-sifat
tertentu yang dimiliki oleh
ulama tersebut. Demikian ini
hukumnya haram, karena Allah
Azza wa Jalla telah berfirman:
ﻳَﺎﺃّﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَﻳَﺴْﺨَﺮْ ﻗَﻮْﻡُُ ﻣِّﻦ
ﻗَﻮْﻡٍ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِّﻨْﻬُﻢْ
ﻭَﻻَﻧِﺴَﺂﺀُُ ﻣِّﻦ ﻧِّﺴَﺂﺀٍ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥ ﻳَﻜُﻦَّ
ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِّﻨْﻬُﻦَّ ﻭَﻻَﺗَﻠْﻤِﺰُﻭﺍ ﺃَﻧﻔُﺴَﻜُﻢْ
ﻭَﻻَﺗَﻨَﺎﺑَﺰُﻭﺍ ﺑِﺎْﻷَﻟْﻘَﺎﺏِ ﺑِﺌْﺲَ ﺍْﻹِﺳْﻢُ
ﺍﻟْﻔُﺴُﻮﻕُ ﺑَﻌْﺪَ ﺍْﻹِﻳﻤَﺎﻥِ ﻭَﻣَﻦ ﻟَّﻢْ ﻳَﺘُﺐْ
ﻓَﺄُﻭْﻻَﺋِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤُﻮﻥَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum yang
lain, (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olokkan) lebih baik
dari mereka (yang mengolok-
olokkan), dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-
olokkan) wanita lain (karena)
boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik
dari wanita (yang mengolok-
olokkan) dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan)
yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang zhalim. [al-
Hujurat/49 : 11].
Berkenaan dengan ayat ini,
Ibnu Katsir menyatakan: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala melarang
mengolok-olok orang lain. Yaitu
merendahkan dan
menghinakan mereka.
Sebagaimana disebutkan
sebuah hadits dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa Beliau bersabda:
Sombong itu adalah menolak
kebenaran dan menghinakan
orang lain.” [9]
Kedua : Mengolok-olok ulama
karena kedudukan mereka
sebagai ulama, karena ilmu
syar’i yang mereka miliki.
Demikian ini termasuk
perbuatan zindiq, karena
termasuk melecehkan agama
Allah. Demikian pula mengolok-
olok orang shalih, orang yang
menjalankan Sunnah Nabi.
Allah telah menggolongkan
pelecehan terhadap orang-
orang yang beriman sebagai
pelecehan terhadapNya. Dalam
surat At Taubah, Allah
berfirman:
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨّﺎ
ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺀَﺍﻳَﺎﺗِﻪِ
ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭﻥَ
Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka (tentang apa
yang mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanya
bersenda gurau dan bermain-
main saja”. Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-
ayatNya dan RasulNya kamu
selalu berolok-olok?” [at-
Taubah/9 : 65].
Ayat ini turun berkenaan
dengan perkataan orang-orang
munafik terhadap para qari’
“Belum pernah kami melihat
orang seperti para qari’ kita
ini, mereka hanyalah orang-
orang yang paling rakus
makannya, paling dusta
perkataannya dan paling
penakut di medan perang.”
Maka Allah menurunkan ayat
tersebut.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan
bin Muhammad bin Abdil
Wahhab mengatakan: “Ayat ini
berisi penjelasan, bahwa
seseorang bisa jatuh ke kufur
karena perkataan yang
diucapkannya, atau karena
perbuatan yang dilakukannya.”
Kemudian beliau melanjutkan:
“Termasuk dalam bab ini, yaitu
mengolok-olok ilmu syar’i dan
Ahli Ilmu, dan tidak
menghormati mereka karena
ilmu yang mereka miliki.” [10]
Dalam Fatwa Lajnah Daimah
disebutkan: “Mencela Islam,
mengolok-olok Al Qur’an dan As
Sunnah, serta mengolok-olok
orang-orang yang berpegang
teguh dengannya karena ajaran
agama yang mereka amalkan,
seperti memelihara jenggot
dan berhijab bagi wanita
muslimah, maka perbuatan
seperti itu termasuk kufur, bila
dilakukan oleh seorang
mukallaf ((orang baligh yang
berakal sehat) dan harus
dijelaskan kepadanya, bahwa
perbuatan itu kufur. Jika ia
tetap melakukannya setelah
mengetahuinya, maka ia bisa
jatuh kafir, karena Allah Azza
wa Jalla mengatakan:
ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺀَﺍﻳَﺎﺗِﻪِ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭﻥَ
ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ
Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayatNya dan
RasulNya kamu selalu berolok-
olok?” Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman. [at-
Taubah/9 : 65].
Ibnu Nujaim
menyatakan,”Mengolok-olok
ilmu dan ulama adalah
kufur.” [11]
Mala Ali Al Qari, ketika
menjelaskan tentang orang
yang melecehkan ulama
dengan sindiran “Betapa buruk
penampilannya, memotong
kumis dan melipat sorban di
bawah dagu” (maka) beliau
mengatakan,”Perkataan itu
termasuk kufur, karena isinya
melecehkan ulama. Yang sama
artinya melecehkan para nabi.
Karena para ulama adalah
pewaris para Nabi. Memotong
kumis adalah salah satu
Sunnah para nabi.
Menganggapnya buruk adalah
kufur, tanpa ada perselisihan
pendapat diantara ulama.”
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin ditanya tentang
perbuatan sebagian orang yang
mengolok-olok orang-orang
yang melaksanakan ajaran
agama dan mengejek mereka,
apakah hukumnya? Beliau
menjawab: “Orang-orang yang
mengolok-olok para multazimin
(orang yang melaksanakan
ajaran agama) yang
melaksanakan perintah Allah
pada mereka terdapat benih
kemunafikan. Karena Allah
Azza wa Jalla telah
menyebutkan sifat orang-orang
munafik:
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻠْﻤِﺰُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﻄَّﻮِّﻋِﻴﻦَ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻻَﻳَﺠِﺪُﻭﻥَ ﺇِﻻَّ ﺟُﻬْﺪَﻫُﻢْ ﻓَﻴَﺴْﺨَﺮُﻭﻥَ
ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺳَﺨِﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ
ﺃَﻟِﻴﻢٌ
(orang-orang munafik) yaitu
orang-orang yang mencela
orang-orang mu’min yang
memberi sedekah dengan
sukarela dan (mencela) orang-
orang yang tidak memperoleh
(untuk disedekahkan) selain
sekedar kesanggupannya, maka
orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan
membalas penghinaan mereka
itu, dan untuk mereka adzab
yang pedih. [at-Taubah/9 : 79].
Kemudian, apabila mereka
mengolok-olok karena ajaran
syari’at yang mereka amalkan,
yang demikian itu termasuk
juga mengolok-olok syari’at.
Dan mengolok-olok syari’at
termasuk kufur. Adapun bila
olok-olokan itu tertuju kepada
pribadi orang itu atau
penampilannya, bukan tertuju
kepada Sunnah yang
diamalkannya, maka tidaklah
kafir karenanya. Karena
adakalanya ejekan tersebut
tertuju kepada pribadi
seseorang, bukan kepada amal
atau perbuatan yang
dilakukannya. Perbuatan
semacam itu sangatlah
berbahaya.” [13]
Demikian pula ulama Salaf
terdahulu, bersikap keras
terhadap orang-orang yang
melecehkan ulama dan Ahli
Hadits.
Abu Utsman Ash Shabuni
dalam I’tiqad Ashabul Hadits,
nomor 164, Al Khathib Al
Baghdaadi dalam Syaraf
Ashabul Hadits (halaman 74)
menyebutkan, bahwa Ahmad
bin Al Hasan berkata kepada
Imam Ahmad: “Wahai, Abu
Abdillah. Orang-orang
menceritakan tentang Ibnu Abi
Qutailah di Makkah yang
mengejek Ashabul Hadits. Ia
mengatakan bahwa Ashabul
Hadits itu adalah orang-orang
yang buruk.” Maka Imam
Ahmad bangkit seraya menepis
bajunya dan berkata: “Dia itu
zindiq, dia itu zindiq!” hingga
beliau masuk ke dalam rumah.
Dalam kitab Al Kifayah,
halaman 48, Al Khathib Al
Baghdadi menyebutkan, bahwa
Abu Zur’ah Ar Razi
mengatakan: “Jika engkau
melihat seseorang melecehkan
salah seorang dari sahabat
Nabi, maka ketahuilah bahwa
dia itu zindiq. Karena kita
tahu, bahwa Rasul itu haq, Al
Qur’an itu haq, dan
sesungguhnya yang
menyampaikan Al Qur’an dan
As Sunnah kepada kita adalah
para sahabat Rasulullah,
sesungguhnya mereka ingin
memburuk-burukkan para saksi
kita untuk menolak Al Qur’an
dan As Sunnah, padahal
merekalah yang pantas untuk
diburukkan, karena mereka
adalah zindiq.”
Demikian pula Adz Dzahabi
menyebutkan dalam Siyar
A’lamun Nubala’, bahwa Imam
Ahmad berkata: “Jika engkau
melihat seseorang memburuk-
burukkan Hammad bin
Salamah, maka curigailah dia
mempunyai maksud buruk
terhadap Islam, karena
Hammad sangat tegas
terhadap Ahli Bid’ah.”
Memang ahli bid’ah terkenal
suka mengejek dan melecehkan
Ahlu Sunnah, sebagaimana
yang dilakukan oleh seorang
tokoh Mu’tazilah. Yaitu Amru
bin Ubaid, yang memuji
perkataan Washil bin Atha’.
Pada suatu ketika Washil bin
Atha’ berbicara lalu berkatalah
Amru bin Ubeid: “Tidakkah
kalian dengar perkataannya?
Sungguh ucapan Hasan Al-
Bashri dan Ibnu Sirin tidak
lebih seperti sehelai kapas
pembersih haidh yang
dilemparkan.”
Demikian pula seorang
pembesar ahli bid’ah
mengatakan: “Sesungguhnya
ilmu Asy Syafi’i dan Abu
Hanifah, keseluruhannya
tidaklah keluar dari celana
dalam wanita.” [14]
Perbuatan semacam itu
termasuk perbuatan zindiq dan
nifaq wal iyadzu billah. Dari
keterangan di atas, kita dapat
menyimpulkan, bahwa
melecehkan ulama termasuk
dosa besar. Para ulama
menggolongkannya sebagai
perbuatan kufur dan nifak.
Semoga Allah menjauhkan kita
darinya.
Senin, 04 Desember 2017
HUKUM MENGHINA DAN MERENDAHKAN AHLI ILMU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar